BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan militer adalah salah satu
peradilan khusus yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memeriksa dan
mengadili tindak pidana yang ditujukan kepada anggota militer atau orang-orang
yang dipersamakan. Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan militer
didalam yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam
lingkungan Peradilan Militer, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Umum dan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal proses beracara dalam
Peradilan Militer diatur dengan ketentuan khusus, yaitu Hukum Acara Peradilan
Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
Berdasarkan
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara Indonesia
adalah negara hukum. Secara sederhana definisi negara hukum adalah negara yang
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Hukum
dijadikan panglima dalam proses kehidupan kenegaraan, bukan politik ataupun
ekonomi, oleh sebab itu prinsip negara nukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Seorang ahli dari Inggris yaitu Albert Venn Dicey menyatakan bahwa terdapat asas-asas
negara hukum (rule of law) yang tidak boleh ditolak sebuah negara
hukum, yaitu supremacy of law, equality
before the law dan due process of law.
Dalam hal equality before the law atau persamaan
dihadapan hukum yang dimana penundukan yang sama dari seluruh golongan warga
negara Indonesia kepada hukum positif, ini berarti bahwa tidak ada orang yang
berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa mempunyai hak dan
berkewajiban sama dihadapan hukum. Jika penulis kaitikan tentang asas equality before the law dengan peradilan
militer akan memberikan suatu penafsiran ganda, yang dimana asas ini dapat
dimaksudkan persamaan dihadapan hukum untuk seluruh anggota militer baik
prajurit maupun atasannya atau dapat ditafsirkan bahwa peradilan militer telah
menghianati asas equality before the law
dengan membeda-bedakan proses pengadilan antara warga sipil dengan kesatuan
militer, yang dimana kesatuan militer dibuatkan pengadilan secara khusus. Tentu
hal ini akan berdampak bagi demokrasi di negara hukum seperti Indonesia, dimana
seluruh warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai kesatuan militer atau
lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dan tidak
dibeda-bedakan. Permasalahan ini lah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji
eksistensi asas equality before the law
dengan adanya peradilan militer di Indonesia. Mengingat banyak orang yang beranggapan
hukum militer cukup untuk diketahui oleh kalangan militer saja. Hal ini tentu
bukan anggapan yang tepat. Hukum militer merupakan salah satu sub sistem hukum
di Indonesia, serta kesatuan militer adalah bagian dari masyarakat yang
melakukan tugas khusus demi melakukan pembelaan negara dan bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan asas equality before the law?
1.2.2
Bagaimana realita asas equality before
the law di Indonesia pada masa sekarang?
1.2.3
Bagaimana kaitan asas equality before the
law dengan eksistensi Peradilan Militer?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud
dengan asas equality before the law
1.3.2
Mengetahui realita asas equality before
the law di Indonesia pada masa sekarang
1.3.2
Mengetahui kaitan asas equality before
the law dengan eksistensi Peradilan Militer
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini untuk menambah
wawasan pembaca mengenai eksistensi asas equality
before the law dengan adanya suatu peradilan khusus di lingkungan militer,
agar asas equality before the law yang merupakan suatu asas
yang wajib diterapkan dalam segala pembentukan hukum di Indonesia, tidak
disalahartikan hakikatnya dengan terbentuknya suatu peradilan khusus seperti
peradilan militer.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asas Equality Before the Law
Asas equality before the law atau persamaan dihadapan hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum modern.
Asas ini menjadi suatu dasar didalam perkembangan negara hukum (rule of law) beserta dengan pembangunan
hukumnya. Asas equality before the law
memiliki makna bahwa setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan
tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di
muka hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang. Bahkan konnstitusi Indonesia mengatur secara tegas yang telah memberikan
jaminan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Ketentuan ini memberikan makna bahwa setiap warga negara Indonesia
tanpa melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan
terdidik atau tidak, golongan menengah ke atas atau kaum yang miskin tetap
harus dipersamakan dihadapan hukum. Asas ini memberikan perlindungan bagi hak
asasi warga negara dan harus direalisasikan oleh pemerintah atau penegak hukum.
Prof. Ramly
pernah menyatakan bahwa asas equality
before the law merupakan suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang
harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum
berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum
dan pemerintah. Ditinjau dari hukum tata negara, maka setiap instansi
pemerintah, terutama aparat penegak hukum, terikat secara konstitusional dengan
nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.
Asas equality before the law ini dapat
disebutkan sebagai salah satu manifestasi dari negara hukum modern sehingga
harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang dihadapan hukum. Sehingga elemen
yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan hukum dan mendapatkan
keadilan yang sama di depan hukum. Sehingga nantinya dalam proses kehidupan
bernegara di Indonesia, jika asas equality
before the law diterapkan dengan baik akan menciptakan suatu kehidupan yang
berkeadilan dan mensejahterakan seluruh warga negara. Asas ini juga mendorong
proses demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik dengan menjamin hak-hak yang
sama untuk warga negara berperan secara aktif demi pembangunan hukum maupun
demokrasi nasional. Jika demokrasi telah berjalan dengan baik dan tertib maka
suatu pembentukan hukum akan pro-rakyat, dengan keadaan seperti ini nantinya
hukum akan dipatuhi dan ditaati oleh seluruh masyarakat sehingga menciptakan
kesadaran hukum yang tinggi dan ketentraman hidup bernegara.
2.2 Realita Asas Equality Before The Law di Indonesia
Pada Masa Sekarang
Sesungguhnya persamaan dihadapan hukum telah diatur
didalam konstitusi negara, salah satunya pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimana menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Tetapi mengenai realitanya, di
Indonesia penerapan asas equality before
the law belum secara murni dapat terealisasikan. Ironisnya dalam
prakteknya, hukum di Indonesia masih diskriminatif. Asas equality before the law tidak diterapkan secara seimbang atau
adil, bahkan seringkali diabaikan untuk kepentingan kelompok tertentu yang
lebih di kedepankan dibandingkan kepentingan publik.
Penerapan asas equality
before the law di Indonesia kerap menemui berbagai hambatan. Hambatan yang
muncul dapat dari berbagai sisi diantaranya yuridis, politis ataupun
sosiologis. Penegakkan hukum yang lemah mengakibatkan cenderung tumpul ke atas
sedangkan tajam ke bawah. Sehingga bagi rakyat yang tergolong perekonomiannya
lemah dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, maka suatu proses diperadilan hukum
akan cenderung memberatkan atau mempersulitnya, apalagi jika pihak lawan
berasal dari kaum perekonomian yang kaya dan memiliki kekuasaan.
Banyaknya kebijakan yang diambil penguasa tidak pro-rakyat,
yang mengindahkan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat didalam pengambilan
kebijakan, padahal kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Realitanya pada
masa sekarang suatu kebijakan yang diambil untuk kepentingan umum hanya pro
terhadap orang-orang kaya atau berkuasa, sedangkan kontra terhadap kehidupan
masyarakat umum. Bahkan pada masa sekarang semua orang dianggap tahu
aturan-aturan hukum, tetapi masyarakat tidak dilibatkan didalam perumusannya.
Asas equality before the law mesti
terkait dengan asas partisipasi pembentukan hukum dan persamaan atas informasi
suatu perundang-undangan yang dibuat legislatif. Dalam proses demokrasi semua
warga negara mempunyai hak yang sama untuk turut serta didalam pembangunan
hukum, sehingga jika realitanya seperti ini maka mencederai asas equality before the law.
Pada realitanya sekarang, tidak ada perlakuan yang
sama di hadapan hukum dan itu menyebabkan hak-hak individu warga negara dalam
memperoleh keadilan terabaikan, sehingga kepastian hukum juga akan ikut
terabaikan. Prof. Ramly menyatakan jika masih ada undang-undang yang memberikan
keistimewaan perlakuan terhadap suatu individu, maka undang-undang tersebut
bertentangan secara diametral dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara eksplisit, bahwa hak setiap orang
untuk diperlakukan sama di hadapan hukum dalam posisi apa pun juga.
2.3 Kaitan Asas Equality Before The Law Dengan Eksistensi Peradilan Militer
Dalam sistem hukum Indonesia
perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis
pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses
melalui mekanisme sistem peradilan khusus yaitu peradilan militer dengan sub
sistem yang khusus pula. Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan
Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak
pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan perundan-undangan pidana lainnya,
juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di
peradilan militer.
Sistem hukum pidana Indonesia
berlandaskan asas equality before the law
yang dimana setiap orang diperlakukan sama dengan tidak membeda-bedakan orang
dihadapan hukum. Asas equality before the
law menghendaki tidak ada warga negara yang mendapat privilege (hak istimewa) apalagi dalam bidang peradilan.
Dengan adanya peradilan militer
ini, kesatuan militer terkesan ditempatkan sebagai warga negara khusus, dengan
menunjukkan bahwa supremasi militer yang dipertahankan dengan adanya hak-hak
istimewa tertentu terhadap prajurit militer. Padahal dalam konsitusi negara
Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, Ketentuan ini dapat mempunyai
makna baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan
tidak boleh ada warga negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam
masalah peradilan.
Sehingga sebagian kalangan menganggap
adanya peradilan khusus bagi kesatuan militer adalah bentuk pengabaian terhadap
asas equality before the law, yang
mempengaruhi besar pada kualitas demokrasi kita. Demokrasi adalah suatu hak dan
kewajiban yang melekat pada seluruh elemen masyarakat, bukan cuma pada
orang-orang tertentu. Artinya semua warga negara, baik yang berprofesi sebagai
anggota kesatuan militer maupun yang lainnya, memiliki hak dan kewajiban yang
sama sebagai warga negara.
Untuk sebuah kejahatan pidana yang
dilakukan oleh orang militer dihadapkan kepada peradilan militer, sedangkan
warga sipil harus bertarung atas konsep benar dan salah di peradilan umum.
Tetapi pada kenyataannya proses di peradilan militer dinilai negatif oleh
sebagian pihak, berbeda dengan di peradilan umum. Masyarakat sipil kembali
mempertanyakan efektifitas peradilan militer. Bahkan Human Rights Watch Indonesia pernah mendesak pemerintah agar
pelanggaran militer dengan menyeret para tentara yang terlibat kejahatan
terhadap warga sipil ke bawah yurisdiksi pengadilan sipil. Alasannya bahwa
sistem pengadilan militer Indonesia sangat ringan menghukum tentara-tentara
yang bersalah. Bahkan perlakuan terhadap masing-masing anggota militer yang
tengah diproses hukum di pengadilan militer kerap tidak sama. Misalnya, pelaku
yang berpangkat, kapten, mayor, hingga jenderal proses hukumnya berbeda dengan
prajurit yang berpangkat letnan ke bawah. Hal seperti ini sangat mencederai
asas equality before the law di
negara hukum modern seperti Indonesia.
Pada saat ini berkembang
konektisitas yang dimana apabila dalam suatu tindak pidana dilakukan secara
bersama-sama oleh pelaku yang tunduk pada lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan militer, maka dapat diadili dalam suatu lingkungan
peradilan saja. Koneksitas cenderung dilihat sebagai hal yang baik yaitu untuk
menjembatani keadilan antara peradilan umum dengan peradilan militer, yaitu
dipicu adanya kasus tindak pidana yang dilakukan warga negara sipil dan militer
secara bersama-sama di mana pelaku sipil kerap telah dihukum saat pelaku
militer belum disidangkan. Walaupun demikian, dalam konteks peradilan militer
yang melanggar asas equality before the
law, koneksitas harus dipahami sebagai sebuah moderasi pembaruan yang
sungguh-sungguh di lingkungan peradilan militer.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam konstitusi negara, asas equality before the law atau persamaan dihadapan hukum telah diatur
didalam konstitusi negara dalam 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dimana menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.” dan pasal Pasal
27 (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Asas equality before the law atau persamaan dihadapan hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum modern.
Asas equality before the law memiliki
makna bahwa setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan tingkat
sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di muka
hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
Dalam kaitannya dengan peradilan
militer, sebagai masyarakat mengaggap bahwa eksistensi peradilan militer
meruapakan bentuk pengabaian terhadap asas equality
before the law. Karena konstitusi secara tegas mengatur baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada
warga negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan.
Dalam proses peradilan bagi kesatuan militer, terdapat ketentuan dan peradilan
khusus yang menangani. Banyak kalangan menganggap peradilan militer negatif
karena dinilai peradilan militer kerap menjatuhi vonis yang ringan bagi
berbagai tindak pidana yang dilakukan orang militer. Kemudian dalam
perkembangannya muncul konektisitas yang dianggap sebagai jembatan keadilan
antara peradilan umum dengan peradilan militer, yaitu dipicu adanya kasus
tindak pidana yang dilakukan warga negara sipil dan militer secara bersama-sama
di mana pelaku sipil kerap telah dihukum saat pelaku militer belum disidangkan.
3.2
Saran
Demi menjunjung kesetaraan
serta keadilan, sudah seharusnya peradilan militer wajib berlandasakan pada
asas equality before the law,
sehingga pembangunan sistem pidana Indonesia dapat menuju ke arah yang lebih baik dengan
menjamin kepastian hukum, berkeadilan dan adanya kemanfaatan. Pemerintah harus
segera mengambil kebijakan guna menanggulangi masalah-masalah, karena
eksistensi peradilan militer. Mengenai pemisahan penanganan suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh warga negara sipil dan orang militer, seharusnya pemisahan
cara penanganan didasari oleh
tindakan yang dilakukan, bukan hanya dilihat subyek atau pelakunya. Sehingga
kewenangan peradilan militer hanya pada tindak pidana yang sepenuhnya hanya
menyangkut tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin militer. Sehingga
tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit militer harus masuk dalam
yurisdiksi hukum peradilan umum.
No comments:
Post a Comment