Thursday 29 December 2016

Ilmu Hukum sebagai Ilmu Kenyataan



Ilmu Hukum sebagai Ilmu Kenyataan (Seinwissenschaft)
Ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan membahas hukum dari sisi sikap tindak atau perilaku. Artinya hukum akan dilihat dari segi penerapannya yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau sikap tindak. Yang termasuk di dalam ilmu-ilmu kenyataan tentang hukum diantaranya adalah:
  1. Sosilogi Hukum
  2. Antropologi Hukum
  3. Perbandingan Hukum
  4. Sejarah Hukum
  5. Psikologi Hukum
1.     Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum pertama kali diperkenalkan oleh Anzilotti pada Tahun 1882. Di lihat dari perkembangannya, dapat dijelaskan bahwa sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasi-hasil pemikiran para ahli filsafat hukum.
Ilmu hukum juga memiliki peran strategis untuk lahirnya sosiologi hukum. Hukum sebagai gejala sosial yang ada dalam masyarakat sebagai kajian ilmu hukum, mendorong perkembangan sosiologi hukum. Sementara itu ilmu hukum juga berbicara tentang nilai seperti halnya nilai keadilan, ketertiban dan keamanan yang merupakan kebutuhan dari masyarakat.
Ilmu sosiologi juga memiliki peran yang sangat penting untuk memecahkan berbagai persoalan hukum yang ada dalam masyarakat. Dewasa ini banyak persoalan hukum yang diselesaikan oleh hukum yang sifatnya normatif tidak memuaskan. Dengan demikian diperlukanlah adanya suatu pendekatan yang lebih komprehensif melalui ilmu sosiologi yang merupakan ilmu yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang diharapkan dapat memecahkan segala persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat.
Secara umum ruang lingkup sosiologi hukum adalah :
1)      Mempelajari dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum.
2)      Mempelajari efek hukum terhadap gejala-gejala sosial dalam masyarakat.
Perspektif penelitian sosiologi hukum dapat dibedakan antara lain:
1)      Sosiologi hukum secara teoretis bertujuan untuk menghasilkan generalisasi atau abstrak setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan social, dan pengembangan hipotesis.
2)      Sosiologi hukum empiris atau praktis, yang bertujuan untuk menguji berbagai hipotesis tersebut melalui pendekatan yang sistematis dan metodologis.
Menurut Bruggink terdapat 2 tingkat objek dari sosiologi hukum yaitu:
1)      Objek dari sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan dalam masyarakat
2)      Objek dari sosiologi hukum pada tingkat kedua adalah kaidah-kaidah hukum, yang dengan salah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan. Kaidah-kaidah hukum tersebut berupa peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan (jurisprudensi) dan juga keputusan-keputusan lembaga kemasyarakatan.
Karakteristik dari sosiologi hukum adalah:
1)      Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan praktik-praktik hukum (pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan)
2)      Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum
3)      Sosiologi hukum tidak malakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum dan menyimpang dari hukum sama –sama merupakan objek pengamatannya
Sosiologi hukum merupakan bagian dari ilmu kenyataan (menyoroti hukum sebagai sikap tindak). Dengan demikian, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lainnya.
2.     Antropologi Hukum
            Istilah Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu antropos dan logos. Antropos berarti manusia dan logos berarti ilmu atau studi. Pegertian dari Antropologi hukum itu sendiri adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yg mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana maupun pada masyarakat yang mengalami proses perkembangan dan pembangunan.
            Antropologi dikenal dengan adanya Antropologi fisik dan Antropologi budaya. Antropologi fisik terdiri dari:
1)      Paleoantropologi yakni mempelajaro sejarah terjadinya perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.
2)      Sosmatologi yakni mempelajari terjadinya perkembangan manusia dari sudut cirri badaniah.
Adapun Antropologi budaya terdiri dari:
1)      Etnolinguistik yakni mempelajari terjadinya penyebaran dan pertumbuhan bahasa manusia.
2)      Prehistory yakni mempelajari terjadinya perkembangan dan penyebaran kebudayaan manusia.
3)      Etnologi yakni mempelajari dasar-dasar kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat.
            Antropologi hukum menggunakan pendekatan secara menyeluruh dalam menyelidiki manusia dan masyarakatnya, menemukan bahwa melalui manifestasinya sendiri yang khas, akan melihat bahwa hukum itu selalu hadir dalam masyarakat.
            Bagi seorang antropolog yang mempelajari hukum, yang sangat penting adalah mengadakan analisis dan konstruksi terhadap perikelakuan-perikelakuan yg bertujuan untuk memelihara nilai-nilai yang berlaku. Suatu gejala hukum timbul apabila ada perikelakuan yg sedemikian rupa shg bila dibiarkan akan mengganggu atau bahkan merusak lembaga-lembaga yang paling dihargai oleh masyarakat.
            Menurut E.A Hoebel yang di kutip oleh Soerjono Soekanto hukum sebagai aspek kebudayaan mempunyai beberapa fungsi fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat diantaranya:
1)         Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat.
2)       Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
3)         Mengatasi persengketaan agar keadaan semula pulih kembali.
4)         Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok, apabila terjadi perubahan.
            Menurut Satjipto Rahardjo bahwa lingkup persoalan yang bisa dijelajah oleh para ahli antopologi di bidang hukum cukup luas, diantaranya meliputi hal-hal berikut:
1)         Bagaimanakah tipe-tipe badan yang menjalankan pengadilan dan perantaran dalam masyarkat?
2)        Apakah yang menjadi landasan kekuasaan dari badan-badan itu untuk menjalankan peranannya sebagai penyelesaian sengketa?
3)      Dalam keadaan tertentu, sengketa-sengketa yang bagaimanakah yang menghendaki penyelesaian melalui pengadilan dan yang manakah menghendaki perundingan?
4)      Fungsi serta ekosistemis manakah yang bekerja atas suatu proses hukum?
5)      Prosedur manakah yang dipakai untuk masing-masing jenis sengketa pada kondisi tertentu?
6)      Bagaimankah keputusan itu dijalankan?
7)      Bagaimanakah hukum berubah?
            Antropologi hukum memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dari masyarakat. Hukum dilihat tidak secara statis, melainkan dinamis, yang mana ia akan terbentuk dan menghilang secara berkesinambungan.
3.     Perbandingan Hukum
            Dalam bukunya Comparative Law, Rudolf D. Schleringer mengemukakan bahwa perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yg lebih mendalam tentang bahan hukum tertentu.
            Perbandingan hukum bukan merupakan suatu perangkat peraturan dan azas-azas hukum, bukan suatu cabang hukum, melainkan suatu cara menggarap suatu unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum.
            Tujuan mempelajari perbandingan hukum dapat dibedakan berdasarkan asal usul dan perkembangannya. Jika kita bertitik tolak pada teori hukum alam maka tujuan perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem hukum guna dapat mengembangkan hukum alam itu sendiri, sehingga tampak adanya persamaan dan perbedaan. Apabila kita bertitik tolak pada jalur orientasi yang bersifat pragmatism maka tujuan perbandingan hukum adalah untuk mengadakan perbaruan hukum dan tidak semata-mata melihat perbedaan dan persamaan antara dua sistem hukum atau lebih.
            Adapun manfaat dari mempelajari perbandingan hukum adalah untuk:
1)      Unifikasi hukum.
2)      Harmonisasi hukum.
3)      Mencegah adanya chauvinism hukum nasional dan menempuh kerjasama internasional.
4)      Memahami hukum asing.
5)      Pembaruan hukum nasional.
4.     Sejarah Hukum
            Sejarah hukum adalah suatu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan membandingkan dengan hukum yang berbeda karena dibatasi oleh waktu. Yang ditekankan dalam studi sejarah hukum adalah hukum suatu bangsa merupakan ekspresi jiwa dari bangsa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa selalu berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami masing-masing sistem hukum.
            Sejarah hukum ini tidak dapat dilepaskan dari aliran Historical Juriprudence yang di pelopori oleh Friedrich Carl von Savigny. Aliran muncul sebagai suatu reaksi terhadap Rasionalisme abad ke-18 dan Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang dan tradisi.
            Menurut Lemaire, apabila dilihat dari sudut bentuknya sejarah hukum terdiri atas sejarah hukum ekstern ruang lingkupnya yaitu perkembangan secara menyeluruh dari suatu hukum positif tertentu dan sejarah hukum intern ruang lingkupnya yaitu lembaga dan pengertian hukum dari suatu bidang tata hukum tertentu.
            Apabila hukum itu dikatakan tumbuh dan berkembang maka dapat diartikan bahwa ada hubungan antara sistem hukum yang sekarang dengan yang lalu. Karenanya untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat, perlu dikenal dan dipahami secara sistematis tentang proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor penyebab keberadaannya, dan sebagainya.
5.     Psikologi Hukum
            Psikologi apabila di tinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho dan logos. Psycho sering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian psikologi sering di artikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa.
            Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang prilaku manusia (human behavior), maka dengan kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu pencerminan perilaku manusia. Di dalam masyarakat modern, perilaku manusia ini merupakan sesuatu yang sangat menonjol pada hukum, yang akan menggunakan hukum sebagai alat tujuan tujuan yang di kehendaki. Karenanya dimaksud dengan psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahun yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
Adapun ruang lingkup dari psikologi hukum menurut Soedjono D. ialah:
1)      Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaedah hukum.
2)      Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3)      Perilaku menyimpang.
4)      Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
                 Dalam psikolog hukum akan dipelajari sikap tindak atau perilakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas:
1)      Sikap tindak atau perilakuan hukum yang normal yang akan menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum.
2)      Sikap tindak atau perilakuan hukum yang abnormal yang menyebabkan seseorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
            Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum antara lain:
1)      Neurosis yaitu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh factor kejiwaan atau gangguan pada fungsi jaringan syaraf.
2)      Psikhosis yaitu suatu gejala seperti reaksi schizophrenic yang menyangkut proses emosional dan intelektual.
3)      Gejala Sosiopatik yang mencakup : reaksi antisocial (seseorang yang hamper tidak punya etika atau logika), reaksi dissosial (seseorang yang selalu berurusan dengan hukum), deviasi seksual (perilaku sesual yang menyimpang) dan addiction (ketergantungan).
            Secara sadar ataupun tidak, hukum ternyata telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial, hal ini dapat dilihat contohnya pada hukum pidana, dimana peranan sanksi pidana dengan kriminalis menunjukan hubungan hukum dengan psikologi. Contohnya lain misalnya bila kita mempersoalkan tentang hak hak itu tercantum di dalam peraturan, melainkan karena ada keyakinan pada diri sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu.


Monday 26 December 2016

Sita Jaminan

Sita Jaminan
Pengertian sita jaminan
sita jaminan adalah penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan atas barang bergerak atau tidak bergerak, milik penggugat atau tergugat untuk menjamin adanya tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan atau pemohon sita. Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (ps. 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg). 
Tujuan sita jaminan
Tujuan dari sita jaminan tersebut adalah untuk menjamin apabila gugatan dikabulkan atau dimenangkan, putusannya dapat dilaksanakan sehingga penggugat dapat menikmati kemenangannya sebab ada kemungkinan bahwa pihak lawan atau tergugat, selama sidang berjalan, mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain.
Macam-macam Sita yang diatur HIR:
Dalam hukum acara perdata, ada dua macam sita jaminan yang umumnya diajukan, (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.) yaitu
-          Sita jaminan terhadap barang milik penggugat sendiri (Revindicatoir Beslag)
-          Sita jaminan terhadap barang milik debitur atau tergugat (Conservatoir Beslag)

1.      Sita revindicatoir (ps.226 HIR)
-        Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik secara lisan maupun tertulis, kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal,agar barang tersebut disita.
-        Barang yang disita secara revindicatoir adalah barang bergerak dan terperinci milik penggugat.
-        Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan.
-        Akibat hukum sita ini adalah penggugat tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya tergugat dilarang untuk mengalihkannya.
-        Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir itu dinyatakan dicabut.
Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.        Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg)
Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya)
2.        Sita marital (Pasal 823-823j Rv).
Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak dialihkan
Contoh:
Jika mobil milik A dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan agar B tidak mengalihkannya.
Obyek Permohonan:
Obyek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
2.      Sita Conservatoir (ps. 227 HIR)
-        Penyitaan (beslag) ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
-        Barang yang disita secara conservatoir adalah barang bergerak dan tidak bergerak milik tergugat.
-        Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penggugat (ps.227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). 
-        Untuk mengajukan sita jaminan ini harus ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. 
-        Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita conservatoir itu dinyatakan dicabut.
-        Setiap saat tergugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut, apabila dikabulkan maka tergugat harus menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Contoh:
Dengan menjual barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat kepada penggugat sesuai putusan hakim
Obyek permohonan:
Sementara itu, pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
-                 barang bergerak milik debitur
-                 barang tetap milik debitur, dan
-                 barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Perlu dicatat juga bahwa Mahkamah Agung pernah membatalkan sita jaminan karena nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi pokok perkara.

3.      Sita Ekesekutoir (ps. 197 HIR)
-          Penyitaan yang dilakukan sesudah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan akan dieksekusi.
-          Penyitaan dilakukan oleh panitera Pengadilan Negeri, yang wajib, yang membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia hadir, dan penitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
-          Barang yang disita adalah barang bergerak dan tidak bergerak, kecuali barang atau hewan yang digunakan untuk mencari nafkah. Untuk barang tidak bergerak, dibuat Berita Acara, diumumkan dan dicatat oleh Kepala Desa, salinannya didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah.
Batasan-Batasan Barang Yang Disita Menurut Undang-Undang
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri/Juru Sita dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Permohonan agar dilakukan sita jaminan. baik itu sita conservatoir atau sita revindicatoir, harus dimusya­warahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka ketua majelis membuat penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh panitera/jurusita yang bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai pengadilan negeri sebagai saksi.
Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan /Majelis wajib terlebih dahulu mendengar pihak tergugat. Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan:
1.      Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).
2.      Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus  didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.
3.      Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar /bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar /belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
4.      Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita revindicatoir, harus  tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di gedung Pengadilan Negeri.
5.      Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.
6.      Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat, luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas (Perhatikan SEMA No. 2 Tahun 1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari kesalahan penyataan diwajibkan membawa serta Kepala Desa untuk melihat keadaan tanah, batas serta luas tanah yang akan disita).
7.      Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang bersertifikat harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional setempat dan alas tanah yang belum bersertifikat harus diberitahukan kepada Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten.
8.      Penyitaan harus dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-¬tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya dan buku tersebut adalah terbuka untuk umum.
9.      Sejak tanggal pendaftaran sita, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
10.  Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.
11.  Penyitaan dilakukan lebih dahulu atas barang bergerak yang cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat, apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, maka tanah-tanah dan rumah milik tergugat dapat disita.
12.  Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya, dan apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
13.  Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang. Pasal 50 Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap”:
14.  uang atau surat berharga milik negara/ daerah, baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
15.  uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/ daerah.
16.  barang bergerak milik negara/ daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pihak ketiga;
17.  barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik negara/ daerah;
18.  barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/ daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
19.  Hakim tidak melakukan Sita jaminan atas saham.

20.  Pemblokiran atas saham dilakukan oleh Bapepam atas permintaan Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ada hubungan dengan perkara.