Pict:www.antimonopoly.com
Sistem pendekatan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenal 2 jenis sistem pendekatan yaitu pendekatan rule
of reason dan per
se illegal yang mana telah lama diterapkan dalam bidang hukum
persaingan usaha. Pendekatan ini dapat berfungsi untuk menilai apakah suatu
kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha telah atau
berpotensi untuk melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pendeketan
rule of reason merupakan suatu
pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat
evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna
menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat
atau mendukung persaingan. Sedangkan pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Pendekatan
rule of reason memungkinkan
pengadilan melakukan interpretasi terhadap Undang-Udang dengan mempertimbangkan
berbagai faktor-faktor. Pendekatan rule
of reason ini digunakan untuk melakukan evaluasi mengenai akibat perjanjian
atau kegiatan yang menghambat persaingan ataupun mendukung persaingan usaha
yang tidak sehat. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian maupun
kegiatan usaha yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Sebaliknya,
perjanjian-perjanjian maupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga menimbulkan
dinamika persaingan usaha yang sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini dapat
digunakan sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktek
monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.[1]
Sedangkan
dalam pendekatan per se illegal
apabila terdapat dugaan pelaku usaha melanggar hukum persaingan maka peraturan
perundang-undangn dapat langsung diterapkan. Sehingga nantinya jika terbukti
pelaku usaha melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan maka tanpa
melalui proses yang rumit langsung dapat dijatuhi hukuman. Pendakatan per se illegal ini juga melahirkan
aturan-aturan yang secara tegas sehingga dapat menjamin kepastian hukum.
Kegiatan yang dianggap sebagai per
se illegal biasanya meliputi
penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga
penjualan kembali.
Jika
melihat dari ketentuan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur mengenai kartel maka pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga hanya
jiky perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menggunakan pendekatan rule of reason dalam menganalisis
kartel, karena perjanjian kartel baru dilarang apabila dalam prakteknya
terbukti telah mengurangi atau menghambat persaingan secara signifikan dan
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli.
Pendekatan
rule of reason cenderung berorientasi pada prinsip efisiensi yang dengan
akurat menentukan mengenai perjanjian kartel tersebut merupakan suatu tindakan
pelaku usaha menghambat persaingan atau tidak karena hal ini harus dianalisa
dari berbagai aspek temasuk aspek ekonomi. Pendekatan rule of reason lebih menekankan kepada
akibat negatif dari perbuatan yang tidak dapat dilihat secara mudah, apakah
perbuatan tersebut illegal atau tidak tanpa dengan menganilisa akibatnya
terhadap persaingan usaha. Pendekatan rule
of reason ini pula dapat digunakan untuk mengakomodir perbuatan-perbuatan
yang sebenarnya berada dalam “wilayah abu-abu” (grey area) atau dengan kata diantara legalitas dengan ilegalitas.
Dengan kata lain melalui pendekatan rule of reason ini perbuatan yang termasuk
dalam grey area namun karena
berpengaruh positif terhadap persaingan usaha dan menunjang perekonomian negara
maka perbuatan tersebut cenderung untuk diperbolehkan.[2]
Kata-kata
“mengatur produksi dan/atau pemasaran” yang bertujuan mempengaruhi harga adalah
menunjukkan upaya untuk meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk
memilih secara bebas di antara penawaran anggota kartel.
Pasal ini menunjukkan cakupan hanya dalam hal
produksi dan penjualan, tidak meliputi pengembangan dan pembelian. Dalam
lingkup pendekatan rule of reason,
jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha akan
dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya
unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri
pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang
menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi
kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik
persaingan usaha yang tidak sehat, sedangkan ciri kedua adalah apabila dalam aturan
tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”.[3]
Dalam perjanjian kertel harus
menggunakan sistem pendekatan rule of reason karena kartel tidak selalu
berdampak negatif, namun dalam beberapa kasus pembentukan kartel dapat membawa
keuntungan serta dapat memberi proteksi terhadap suatu industri dari ancaman
persaingan yang mematikan, yaitu dengan menjaga kepastian produksi, terutama
industri yang memerlukan investasi besar. Disamping itu sistem kartel dapat
mencegah pengaruh persaingan yang memaksa perusahaan melakukan inovasi yang
tidak begitu mendesak, dengan demikian perusahaan terhindari dari pengeluaran
untuk riset dan pengembangan yang tidak perlu sehingga menyebabkan pelaku usaha
tersebut dapat fokus meningkatkan mutu produksi yang telah dilakukannya.
Pada umumnya kartel dilakukan
dalam suatu asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi tersebut terdiri dari
para pelaku uasaha. Dimana manfaat pembentukan perjanjian kartel dalam suatu asosiasi
dagang ini yaitu misalnya upaya menyusun standar teknis ataupun upaya bersama
meningkatkan standar produk barang atau jasa yang dihasilkan para pelaku usaha
tersebut, tentu perjanjian kartel dalam suatu asosiasi dagang seperti ini akan
dapat berdampak positif terhadap kelangsungan produksi dan menguntungkan bagi
para konsumen maupun produsen.[4]
[1]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha,
diakses 12 April 2017, jam 12.56 WITA.
[2]
Budi Kagramanto, Mengenal Hukum
Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Laros, 2016), hlm.109.
[3] Peter
W.Heerman, Legal Commentary :
Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law
Concerning Prohibition of Monopolistic Pratices and Unfair Bussiness
Competition), (Jakarta: Katalis, 2001).
No comments:
Post a Comment