Friday, 21 April 2017

Konsep Merek dan Indikasi Geografis

Pict : www.seruyan.net

A.    KONSEP MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Merek memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam masa sekarang merek adalah suatu bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya. Merek bukannya hanya digunakan sebagai suatu identitas barang maupun jasa, tetapi  merek juga berperan penting sebagai pemasaran suatu produk/jasa. Melalui merek ini dapat dibangun loyalitas konsumen untuk menjaga eksistensi dari produk/jasa tersebut. Merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bisnis. Hak Merek adalah bentuk perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, sesuai dengan kelas dan jenis barang/jasa untuk mana merek tersebut terdaftar.
Satu hal yang perlu dipahami adalah, pendaftaran Merek untuk memperoleh Hak Merek bukan berarti ijin untuk menggunakan merek itu sendiri. Siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang/jasa yang sama. Hanya saja, dengan merek terdaftar, si pemilik merek punya hak melarang siapapun untuk menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar miliknya tadi, tentunya untuk kelas dan jenis barang/jasa yang sama. 
Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari segi produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya, dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran, dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.Sedangkan, Menurut Imam Sjahputra, fungsi merek adalah sebagai berikut:
a. Sebagai tanda pembeda (pengenal); 
b. Melindungi masyarakat konsumen ;
c. Menjaga dan mengamankan kepentingan produsen;
d. Memberi gengsi karena reputasi;
e. Jaminan kualitas.
Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk factor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 di Indonesia terdapat pasal yang menyebutkan mengenai Indikasi Geografis dan di dalam TRIPs terdapat pasal yang menyebutkan bahwa negara anggota harus menyediakan perlindungan khusus untuk Indikasi Geografis. Indikasi Geografis pada dasarnya memiliki kesamaan dengan merek. Perbedaannya, pada Indikasi Geografis, tanda menunjukkan daerah asal suatu barang, yang didasarkan pada faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut (Pasal 56 Undang-Undang Merek). Jadi sebenarnya Indikasi Geografis ini akan banyak dapat diterapkan pada produk-produk yang dihasilkan karena keanekaragaman plasma nutfah yang dimiliki Indonesia, Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. dan ini satu-satunya rezim HKI yang memberikan perlindungan terhadap keunggulan komparatif negara berkembang.


B.     MENGHARMONISASIKAN TRIPS AGREEMENT KE DALAM SISTEM HUKUM MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade on Counterfit Goods) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada tanggal 15 april 1994 (Undang-undang R.I No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization). seluruh negara anggota untuk mengharmonisasikan sistem hukum mereknya ke arah Persetujuan TRIPs akhirnya juga mewajibkan mereka tunduk pada Konvensi Paris. karena TRIPs itu sendiri mengadopsi subtansi dari konvensi-konvensi HKI. Prinsip atau standar yang diatur TRIPs bagi perlindungan HKI mengacu pada prinsip utama WTO. Prinsip – prinsip yang melandasi pengaturan hubungan perdagangan bagi seluruh negara anggota WTO dikenal sebagai prinsip Most Favoured Nations Treatment (MFN), yaitu prinsip yang menekankan perlakuan yang sama bagi seluruh negara anggota WTO, serta prinsip National Treatment (NT) yaitu prinsip perlakuan nasional yang tidak boleh berbeda dengan negara anggota lainnya. Undang-Undang No.15 Tahun 2001 merupakan produk hukum terbaru di bidang Merek sebagai respon untuk menyesuaikan perlindungan Merek di Indonesia dengan standar Internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur mengenai ketentuan perlindungan indikasi geografis di Indonesia.
Sebagai negara anggota WTO, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberlakukan yang diatur dalam TRIPs. TRIPs adalah salah satu perjanjian multilateral terpenting berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, Agreement ini mulai berlaku 1 Januari 1995, Indonesia telah meratifikasinya dan berkewajiban melaksanakah dan berlaku sejak tahun 2000. Indonesia meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan sebagai konsekuensi keikutsertaannya, maka Indonesia berkewajiban mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan TRIPs. Adapun prinsip-prinsip yang dianut oleh TRIPs diantaranya:
1) Prinsip yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktek hukum nasionalnya. 
Negara anggota dapat menerapkan sistem perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HKI dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota. 

2) Prinsip Intellectual Property Convention 
Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan peraturan perandang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional di bidang HKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs). 
3) Prinsip National Treatment 
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya beriaku bagi warga negara perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum. 
4) Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment 
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4 TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya perlakuan diskriminasi suatu negara terhadap negara lainnya dalam memberikan perlindungan HKI. Setiap negara anggota diharuskan memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya. 
5) Prinsip Exhaution 
Ketentuan yang mengharuskan angotanya, di dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan HKI di dalam negara mereka (Pasal 6 TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya, Menyangkut prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan tugas sebagai pengelola TRIPs. Peagawasan pelaksanaan TRIPs, lakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara struktural merupakan bagian dari WTO. 
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) TRIPs, Negara anggota WTO wajib melaksanakan ketentuan Indikasi Geografis (IG) terhadap peraturan nasionalnya. IG sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya, termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat. Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun Merek merupakan rezim yang independen.
Indonesia mengatur IG sebagai bagian dari sistem hukum merek sehingga pengaturan IG terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yakni pada Pasal 56 hingga Pasal 60, Pasal 92, dan Pasal 93 mengatur tentang ketentuan pidana pelanggaran IG dan indikasi asal. Pengaturan IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengakibatkan berbagai ketentuan dalam sistem merek berlaku juga bagi IG. Ketentuan pelaksana IG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (Perauran Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007) yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran IG.
Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas pada barang yang dihasilkan. Pengertian yang diberikan menurut undang-undang ini menunjukkan bahwa barang dengan IG akan dilekatkan tanda yang menunjukkan daerah asal barang tersebut. Wilayah geografis asal barang yang dilekatkan tanda IG memberikan ciri dan kualitas bagi barang tersebut. Pengertian IG ini mengacu pada pengertian yang ditetapkan oleh TRIPs, walaupun tidak memasukan persyaratan reputasi pada barang dengan IG.

C. SISTREM PERLINDUNGAN MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mangatur jangka waktu perlindungan atas hak merek selama 10 tahun secara limitatif dengan waktu tertentu yang terhitung sejak tanggal penerimaan. Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu perlindungan termaksud dalam konsepsi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual biasanya dicatat dalam Daftar Umum dan diumumkan dalam Berita Resmi dari kantor yang membidangi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual termaksud.
Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Pedaftaran merek dilakukan pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jendral HKI adalah instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk mendaftarkan merek yang dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek. Pendaftaran merek dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan oleh UU No. 15 Tahun 2001.
Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif (first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif. Pada sistem kostitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal yang mutlak, karena merek yang tidak di daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas merek tidak hanya sekedar pembajakan yang menyerupai atau menyamai merek yang sudah terdaftar di pasaran saja melainkan juga perlindungan diberikan kepada pemilik merek terkait dengan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan;
(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan  merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal; “
Dari ketentuan Pasal tersebut jelas bahwasanya pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhanannya untuk barang dan atau jasa yang sejenis harus ditolak, hal ini untuk menghindari adanya pembajakan atau pemboncengan merek pihak lain yang sudah terdaftar.
Adanya aturan mengenai Indikasi Geografis (IG) di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI. Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, IG tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan.
Untuk melindungi IG atas suatu produk agar tidak diambil oleh pihak lain, maka Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa IG harus didaftarkan. Adapun pihak yang dapat mengajukan pendaftaran ialah
(a) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas (i) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; (ii) Produsen barang hasil pertanian; (iii) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau (iv) Pedagang yang menjual barang tersebut;
(b) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
(c) Kelompok konsumen barang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan IG di Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Pasal ini menunjukkan bahwa IG tidak dapat dimiliki oleh satu orang, namun dimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barang IG. Hal tersebut membedakan IG dari tata cara kepemilikan HKI lainnya, seperti merek, paten, hak cipta, desain industri, dan rahasia dagang yang dimiliki secara individual.

Masyarakat di daerah IG dapat menunjuk lembaga untuk mewakili mereka untuk mendaftarkan IG. Setiap orang yang menghasilkan suatu barang atau produk dengan IG yang berada di wilayah asal barang IG dapat mempergunakan tanda IG apabila barang yang dihasilkannya sesuai dengan persyaratan pendaftaran IG. Pengaturan penggunaan tanda IG diatur oleh masing-masing lembaga yang mewakili daerah tersebut. Langkah selanjutnya setelah pendaftaran indikasi geografis ialah pengumuman. Tujuan pengumuman permohonan IG ialah agar pihak lain dapat memberikan keberatan atau sanggahan atas pendaftaran IG apabila ada. Apabila pendaftaran diterima, maka perlindungan IG diberikan selama ciri dan/atau kualitas indikasi geografis tersebut masih ada dan sesuai dengan persyaratan saat diajukan pendaftarannya. 

No comments:

Post a Comment