Sunday 30 April 2017

Bolehkah Warga Negara Asing Memiliki Tanah di Indonesia?


Hak atas tanah yang diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan hak kepemilikan atas tanah oleh negara kepada orang-perorang atau badan hukum dengan bentuk tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak untuk membuka tanah, hak memungut hasil hutan.
Dalam UUPA yang tercantum dalam pasal 21 mengatur mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Larangan tersebut sesuai dengan asas nasionalisme yaitu “Hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan”. Dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960, Warga Negaea Asing hanya diperbolehkan memiliki hak pakai, hak sewa, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.  
Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dengan pertimbangan untuk lebih memberikan kepastian hukum pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Dalam PP itu disebutkan, yang dimaksud Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Orang asing dalam PP ini dapat dinyatakan mempunyai hak milik namun sebatas pada rumah tempat tinggal. Dalam pasal 2 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyatakan bahwa “Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai.”
Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud adalah Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, menurut PP ini, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud dapat diwariskan. Ahli waris sebagaimana dimaksud harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian melihat PPh Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, berdasarkan Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1963, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik, yaitu:
a.       Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
b.      Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139);
c.       Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
d.      Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

                                                              

Friday 21 April 2017

Konsep Merek dan Indikasi Geografis

Pict : www.seruyan.net

A.    KONSEP MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Merek memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam masa sekarang merek adalah suatu bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya. Merek bukannya hanya digunakan sebagai suatu identitas barang maupun jasa, tetapi  merek juga berperan penting sebagai pemasaran suatu produk/jasa. Melalui merek ini dapat dibangun loyalitas konsumen untuk menjaga eksistensi dari produk/jasa tersebut. Merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bisnis. Hak Merek adalah bentuk perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, sesuai dengan kelas dan jenis barang/jasa untuk mana merek tersebut terdaftar.
Satu hal yang perlu dipahami adalah, pendaftaran Merek untuk memperoleh Hak Merek bukan berarti ijin untuk menggunakan merek itu sendiri. Siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang/jasa yang sama. Hanya saja, dengan merek terdaftar, si pemilik merek punya hak melarang siapapun untuk menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar miliknya tadi, tentunya untuk kelas dan jenis barang/jasa yang sama. 
Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari segi produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya, dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran, dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.Sedangkan, Menurut Imam Sjahputra, fungsi merek adalah sebagai berikut:
a. Sebagai tanda pembeda (pengenal); 
b. Melindungi masyarakat konsumen ;
c. Menjaga dan mengamankan kepentingan produsen;
d. Memberi gengsi karena reputasi;
e. Jaminan kualitas.
Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk factor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 di Indonesia terdapat pasal yang menyebutkan mengenai Indikasi Geografis dan di dalam TRIPs terdapat pasal yang menyebutkan bahwa negara anggota harus menyediakan perlindungan khusus untuk Indikasi Geografis. Indikasi Geografis pada dasarnya memiliki kesamaan dengan merek. Perbedaannya, pada Indikasi Geografis, tanda menunjukkan daerah asal suatu barang, yang didasarkan pada faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut (Pasal 56 Undang-Undang Merek). Jadi sebenarnya Indikasi Geografis ini akan banyak dapat diterapkan pada produk-produk yang dihasilkan karena keanekaragaman plasma nutfah yang dimiliki Indonesia, Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. dan ini satu-satunya rezim HKI yang memberikan perlindungan terhadap keunggulan komparatif negara berkembang.


B.     MENGHARMONISASIKAN TRIPS AGREEMENT KE DALAM SISTEM HUKUM MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade on Counterfit Goods) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada tanggal 15 april 1994 (Undang-undang R.I No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization). seluruh negara anggota untuk mengharmonisasikan sistem hukum mereknya ke arah Persetujuan TRIPs akhirnya juga mewajibkan mereka tunduk pada Konvensi Paris. karena TRIPs itu sendiri mengadopsi subtansi dari konvensi-konvensi HKI. Prinsip atau standar yang diatur TRIPs bagi perlindungan HKI mengacu pada prinsip utama WTO. Prinsip – prinsip yang melandasi pengaturan hubungan perdagangan bagi seluruh negara anggota WTO dikenal sebagai prinsip Most Favoured Nations Treatment (MFN), yaitu prinsip yang menekankan perlakuan yang sama bagi seluruh negara anggota WTO, serta prinsip National Treatment (NT) yaitu prinsip perlakuan nasional yang tidak boleh berbeda dengan negara anggota lainnya. Undang-Undang No.15 Tahun 2001 merupakan produk hukum terbaru di bidang Merek sebagai respon untuk menyesuaikan perlindungan Merek di Indonesia dengan standar Internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur mengenai ketentuan perlindungan indikasi geografis di Indonesia.
Sebagai negara anggota WTO, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberlakukan yang diatur dalam TRIPs. TRIPs adalah salah satu perjanjian multilateral terpenting berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, Agreement ini mulai berlaku 1 Januari 1995, Indonesia telah meratifikasinya dan berkewajiban melaksanakah dan berlaku sejak tahun 2000. Indonesia meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan sebagai konsekuensi keikutsertaannya, maka Indonesia berkewajiban mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan TRIPs. Adapun prinsip-prinsip yang dianut oleh TRIPs diantaranya:
1) Prinsip yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktek hukum nasionalnya. 
Negara anggota dapat menerapkan sistem perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HKI dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota. 

2) Prinsip Intellectual Property Convention 
Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan peraturan perandang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional di bidang HKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs). 
3) Prinsip National Treatment 
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya beriaku bagi warga negara perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum. 
4) Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment 
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4 TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya perlakuan diskriminasi suatu negara terhadap negara lainnya dalam memberikan perlindungan HKI. Setiap negara anggota diharuskan memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya. 
5) Prinsip Exhaution 
Ketentuan yang mengharuskan angotanya, di dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan HKI di dalam negara mereka (Pasal 6 TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya, Menyangkut prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan tugas sebagai pengelola TRIPs. Peagawasan pelaksanaan TRIPs, lakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara struktural merupakan bagian dari WTO. 
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) TRIPs, Negara anggota WTO wajib melaksanakan ketentuan Indikasi Geografis (IG) terhadap peraturan nasionalnya. IG sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya, termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat. Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun Merek merupakan rezim yang independen.
Indonesia mengatur IG sebagai bagian dari sistem hukum merek sehingga pengaturan IG terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yakni pada Pasal 56 hingga Pasal 60, Pasal 92, dan Pasal 93 mengatur tentang ketentuan pidana pelanggaran IG dan indikasi asal. Pengaturan IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengakibatkan berbagai ketentuan dalam sistem merek berlaku juga bagi IG. Ketentuan pelaksana IG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (Perauran Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007) yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran IG.
Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas pada barang yang dihasilkan. Pengertian yang diberikan menurut undang-undang ini menunjukkan bahwa barang dengan IG akan dilekatkan tanda yang menunjukkan daerah asal barang tersebut. Wilayah geografis asal barang yang dilekatkan tanda IG memberikan ciri dan kualitas bagi barang tersebut. Pengertian IG ini mengacu pada pengertian yang ditetapkan oleh TRIPs, walaupun tidak memasukan persyaratan reputasi pada barang dengan IG.

C. SISTREM PERLINDUNGAN MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mangatur jangka waktu perlindungan atas hak merek selama 10 tahun secara limitatif dengan waktu tertentu yang terhitung sejak tanggal penerimaan. Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu perlindungan termaksud dalam konsepsi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual biasanya dicatat dalam Daftar Umum dan diumumkan dalam Berita Resmi dari kantor yang membidangi pendaftaran hak atas kekayaan intelektual termaksud.
Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Pedaftaran merek dilakukan pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jendral HKI adalah instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk mendaftarkan merek yang dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek. Pendaftaran merek dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan oleh UU No. 15 Tahun 2001.
Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif (first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif. Pada sistem kostitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal yang mutlak, karena merek yang tidak di daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas merek tidak hanya sekedar pembajakan yang menyerupai atau menyamai merek yang sudah terdaftar di pasaran saja melainkan juga perlindungan diberikan kepada pemilik merek terkait dengan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan;
(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan  merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal; “
Dari ketentuan Pasal tersebut jelas bahwasanya pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhanannya untuk barang dan atau jasa yang sejenis harus ditolak, hal ini untuk menghindari adanya pembajakan atau pemboncengan merek pihak lain yang sudah terdaftar.
Adanya aturan mengenai Indikasi Geografis (IG) di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI. Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, IG tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan.
Untuk melindungi IG atas suatu produk agar tidak diambil oleh pihak lain, maka Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa IG harus didaftarkan. Adapun pihak yang dapat mengajukan pendaftaran ialah
(a) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas (i) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; (ii) Produsen barang hasil pertanian; (iii) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau (iv) Pedagang yang menjual barang tersebut;
(b) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
(c) Kelompok konsumen barang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan IG di Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Pasal ini menunjukkan bahwa IG tidak dapat dimiliki oleh satu orang, namun dimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barang IG. Hal tersebut membedakan IG dari tata cara kepemilikan HKI lainnya, seperti merek, paten, hak cipta, desain industri, dan rahasia dagang yang dimiliki secara individual.

Masyarakat di daerah IG dapat menunjuk lembaga untuk mewakili mereka untuk mendaftarkan IG. Setiap orang yang menghasilkan suatu barang atau produk dengan IG yang berada di wilayah asal barang IG dapat mempergunakan tanda IG apabila barang yang dihasilkannya sesuai dengan persyaratan pendaftaran IG. Pengaturan penggunaan tanda IG diatur oleh masing-masing lembaga yang mewakili daerah tersebut. Langkah selanjutnya setelah pendaftaran indikasi geografis ialah pengumuman. Tujuan pengumuman permohonan IG ialah agar pihak lain dapat memberikan keberatan atau sanggahan atas pendaftaran IG apabila ada. Apabila pendaftaran diterima, maka perlindungan IG diberikan selama ciri dan/atau kualitas indikasi geografis tersebut masih ada dan sesuai dengan persyaratan saat diajukan pendaftarannya. 

Tuesday 18 April 2017

Sistem Pendekatan Rule of Reason dalam Kartel menurut UU Persaingan Usaha


Sistem pendekatan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenal 2 jenis sistem pendekatan yaitu pendekatan rule of reason dan per se illegal yang mana telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha. Pendekatan ini dapat berfungsi untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pendeketan rule of reason merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sedangkan pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. 
Pendekatan rule of reason memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap Undang-Udang dengan mempertimbangkan berbagai faktor-faktor. Pendekatan rule of reason ini digunakan untuk melakukan evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan yang menghambat persaingan ataupun mendukung persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjian-perjanjian maupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga menimbulkan dinamika persaingan usaha yang sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini dapat digunakan sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.[1]
Sedangkan dalam pendekatan per se illegal apabila terdapat dugaan pelaku usaha melanggar hukum persaingan maka peraturan perundang-undangn dapat langsung diterapkan. Sehingga nantinya jika terbukti pelaku usaha melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan maka tanpa melalui proses yang rumit langsung dapat dijatuhi hukuman. Pendakatan per se illegal ini juga melahirkan aturan-aturan yang secara tegas sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. 
Jika melihat dari ketentuan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur mengenai kartel maka pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga hanya jiky perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menggunakan pendekatan rule of reason dalam menganalisis kartel, karena perjanjian kartel baru dilarang apabila dalam prakteknya terbukti telah mengurangi atau menghambat persaingan secara signifikan dan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli.
Pendekatan rule of reason cenderung berorientasi pada prinsip efisiensi yang dengan akurat menentukan mengenai perjanjian kartel tersebut merupakan suatu tindakan pelaku usaha menghambat persaingan atau tidak karena hal ini harus dianalisa dari berbagai aspek temasuk aspek ekonomi. Pendekatan rule of reason lebih menekankan kepada akibat negatif dari perbuatan yang tidak dapat dilihat secara mudah, apakah perbuatan tersebut illegal atau tidak tanpa dengan menganilisa akibatnya terhadap persaingan usaha. Pendekatan rule of reason ini pula dapat digunakan untuk mengakomodir perbuatan-perbuatan yang sebenarnya berada dalam “wilayah abu-abu” (grey area) atau dengan kata diantara legalitas dengan ilegalitas. Dengan kata lain melalui pendekatan rule of reason ini perbuatan yang termasuk dalam grey area namun karena berpengaruh positif terhadap persaingan usaha dan menunjang perekonomian negara maka perbuatan tersebut cenderung untuk diperbolehkan.[2]
Kata-kata “mengatur produksi dan/atau pemasaran” yang bertujuan mempengaruhi harga adalah menunjukkan upaya untuk meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara bebas di antara penawaran anggota kartel. Pasal ini menunjukkan cakupan hanya dalam hal produksi dan penjualan, tidak meliputi pengembangan dan pembelian. Dalam lingkup pendekatan rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat, sedangkan ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”.[3]
Dalam perjanjian kertel harus menggunakan sistem pendekatan rule of reason karena kartel tidak selalu berdampak negatif, namun dalam beberapa kasus pembentukan kartel dapat membawa keuntungan serta dapat memberi proteksi terhadap suatu industri dari ancaman persaingan yang mematikan, yaitu dengan menjaga kepastian produksi, terutama industri yang memerlukan investasi besar. Disamping itu sistem kartel dapat mencegah pengaruh persaingan yang memaksa perusahaan melakukan inovasi yang tidak begitu mendesak, dengan demikian perusahaan terhindari dari pengeluaran untuk riset dan pengembangan yang tidak perlu sehingga menyebabkan pelaku usaha tersebut dapat fokus meningkatkan mutu produksi yang telah dilakukannya.
Pada umumnya kartel dilakukan dalam suatu asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi tersebut terdiri dari para pelaku uasaha. Dimana manfaat pembentukan perjanjian kartel dalam suatu asosiasi dagang ini yaitu misalnya upaya menyusun standar teknis ataupun upaya bersama meningkatkan standar produk barang atau jasa yang dihasilkan para pelaku usaha tersebut, tentu perjanjian kartel dalam suatu asosiasi dagang seperti ini akan dapat berdampak positif terhadap kelangsungan produksi dan menguntungkan bagi para konsumen maupun produsen.[4]




[2] Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Laros, 2016), hlm.109.
[3] Peter W.Heerman, Legal Commentary : Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concerning Prohibition of Monopolistic Pratices and Unfair Bussiness Competition), (Jakarta: Katalis, 2001).
[4] Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Laros, 2016), hlm.167.

Saturday 8 April 2017

Perbedaan Peradilan Umum dengan Peradilan Militer

Pict:DetikNews

Perbandingan Peradilan Umum dengan Peradilan Militer
Mengenai proses beracara dalam peradilan umum diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan dalam peradilan militer saat ini berpijak pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Mengenai tata cara beracara di persidangan, pada dasarnya antara peradilan umum dengan peradilan militer hampir sama. Namun terdapat beberapa perbedaan khusus yang menjadi karakteristik masing-masing peradilan ini, diantaranya:

NO.
Peradilan Umum
Peradilan Militer
1
Kewenangan mengadili peradilan umum adalah terhadap warga sipil
Kewenangan mengadili peradilan militer adalah mengadili terhadap Prajurit, dipersamakan dengan prajurit dan anggota suatu golongan, jawatan atau dipersamakan atau yang di samakan dengan prajurit
2
Objek sengketanya adalah tindak pidana umum dan tindak pidana khusus yang tidak diatur oleh undang-undang tindak pidana khusus
Objek sengketanya adalah tindak pidana umum dan tindak pidana militer
3
Adanya tahapan penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia
Tidak dikenalnya tahapan penyelidikan, namun pada prakteknya penyelidikan merupakan fungsi yang melekat pada Komandan yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik Polisi Militer
4
Adanya beberapa jenis penahanan diantaranya tahanan  RUTAN (Rumah Tahanan), tahanan Rumah, dan tahanan Kota
Jenis penahanan hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan didalam rumah tahanan militer
5
Terdapat beberapa acara pemeriksaan, diantaranya:
·         Acara pemeriksaan biasa
·         Acara pemeriksaan singkat
·         Acara pemeriksaan cepat terdiri dari Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (tipiring) dan Acara pemeriksaan lalu lintas
Tidak dikenalnya suatu acara pemeriksaan khusus didalam peradilan umum karena tidak adanya perbedaan tingkatan kewenangan mengadili terdakwa
Terdapat beberapa acara pemeriksaan, diantaranya:
·         Acara pemeriksaan biasa
·         Acara pemeriksaan koneksitas
·         Acara pemeriksaan khusus
·         Acara pemeriksaan cepat
Tidak adanya acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan tindak pidana ringan (tipiring) karena melanggar asas kepaperaan. Dalam acara pemeriksaan singkat, tidak perlu membuat surat dakwaan, penuntut umum langsung menyerahkan perkara ke pengadilan. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan dalam peradilan militer bahwa semua perkara baik kejahatan maupun pelanggaran harus diselesaikan melalui PAPERA terlebih dahulu, termasuk perkara pelanggaran lalu lintas

6
Di kenalnya suatu Pra-penuntutan dimana penyidik  menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, jika dianggap masih kurang penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk dari penuntut umum. Kemudian penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum, jika nantinya dianggap telah lengkap dilanjutkan dengan penyerahan tersangka dan barang bukti
 Tidak dikenalnya Pra-penuntutan, tetapi pada prateknya terkesan ada pra-penuntutan karena penyidik kerap meminta masukan atau petunjuk dari oditur penuntut umum
7
Tidak dikenalnya strata atau tingkatan kewenangan mengadili terdakwa
Dikenal strata kewenangan mengadili terdakwa. Contohnya pengadilan militer untuk terdakwa kapten kebawah atau pengadilan militer tinggi untuk mayor ke atas

8
Tidak adanya suatu lembaga khusus yang memiliki wewenang khusus dan vital untuk menyerahkan perkara
Adanya lembaga penyerah perkara yaitu PAPERA yang berwenang untuk menyerahkan perkara ke pengadilan ataupun diselesaikan melalui disiplin militer
9
Adanya suatu lembaga Pra-peradilan yaitu melalui pengadilan umum yang berwenang untuk memeriksa tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan, penuntutan, penghentian penyidikan, pengehentian penuntutan
Dalam peradilan militer tidak mengenal lembaga Pra-peradilan
10
Hanya mengenal putusan sanksi pidana
Adanya putusan yang menyelesaikan perkara menurut hukum disiplin militer atau hukuman administrasi disamping putusan sanksi pidana

            Pada dasarnya memang mengenai proses beracara antara peradilan militer dengan peradilan umum hamper sama Namun peradilan militer yang tergolong dalam peradilan khusus, memiliki beberapa kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan proses beracara pada umumnya. Berdasarkan table perbedaan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa letak kekhususan peradilan militer yang membedakannya dengan peradilan umum diantaranya diantaranya:
1.      Mengenai kewenangan mengadili, yang dimana peradilan militer khusus mengadili orang-orang tertentu saja, diantaranya mengadili terhadap Prajurit, dipersamakan dengan prajurit dan anggota suatu golongan, jawatan atau dipersamakan atau yang di samakan dengan prajurit.
2.      Objek yang disengketakan adaah tindak pidana umum dan tindak pidana militer.
3.      Pada peradilan militer tidak dikenalnya tahapan penyelidikan.
4.      Jenis penahanan dalam peradilan militer hanya dilaksanakan didalam rumah tahanan militer.
5.      Adanya beberapa acara pemeriksaan yang berbeda dengan peradilan umum diantaranya:
·         Acara pemeriksaan koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer danyustisiabel peradilan umum
·         Acara pemeriksaan cepat adalah acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan jalan.
·         Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi.
Tidak adanya acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan tindak pidana ringan (tipiring) seperti dalam peradilan umum karena akan melanggar asas kepaperaan yang dianut dalam peradilan militer.
6.      Dalam peradilan militer tidak dikenalnya tahapan Pra-penuntutan.
7.      Terdapat suatu strata kewenangan mengadili terdakwa.
8.      Adanya lembaga khusus yaitu PAPERA yang berwenang untuk menyerahkan perkara ke pengadilan ataupun diselesaikan melalui disiplin militer.
9.      Dalam peradilan militer tidak mengenal lembaga Pra-peradilan.
10.  Selain dari putusan pidana, terdapat jenis putusan lainnya yaitu putusan menurut hukum disiplin militer atau hukuman administrasi.