Sunday 10 September 2017

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) atau Customer Due Dilligence


1. Pengertian
Menurut Peraturan Bank Indonesia No5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip  Mengenal Nasabah pada pasal 1 angka 2 bahwa Prinsip Mengenal Nasabah atau untuk selanjutnya disingkat KYC (Know Your Customer) diartikan sebagai prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan.
Namun setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, mengenai prinsip mengenal nasabah terdapat penyesuaian terminologi dari sebelumnya menggunakan terminologi “KYC” berubah menjadi terminologi “CDD/Customer Due Dilligence selanjutnya disebut sebagai CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah.
Menurut Munir Fuady, Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui sejauh mungkin identitas nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk kegiatan pelaporan transaksi mencurigakan, yang meliputi nasabah biasa (face to face customer), maupun nasabah bank tanpa berhadapan secara fisik (non face to face customer), seperti
nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat menyurat, dan electronic banking

2. Tujuan atau Manfaat Prinsip Mengenal Nasabah
  • Mengurangi resiko kredit macet
  • Menanggulangi kegiatan pencucian uang maupun pendanaan terorismen maupun tindak pidana lainnya
  • Melindungi reputasi bank
  • Memfalitasi kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku
  • Agar praktik perbankan dijalankan secara sehat sesuai ketentuan yang berlaku
  • Melindungi bank agar tidak dijadikan sasaran kejahatan
  • Lebih mengetahui informasi mengenai nasabah

3. Peran Penting Prinsip Mengenal Nasabah
Dalam dewasa ini peran  prinsip mengenal nasabah sangat penting mengingat hubungan bank dengan masyarakat menjadi suatu hal fundamental didalam kehidupan perekonomian negara. Bank yang mempunyai peranan penting dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, sehingga dalam kegiatan usahanya harus dilaksanakan secara sehat dan efisien. Dalam melakukan berbagai kegiatan usahanya, pihak bank harus mengetahui berbagai informasi mengenai calon nasabahnya. Sehingga dapat melindungi bank agar tidak dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang illegal atau bank tidak dijadikan sasaran dari kejahatan yang dapat berupa PENCUCIAN UANG
DAN maupun PENDANAAN TERORISME, karena dalam era sekarang perkembangan model-model kejahatan juga ikut berkembang. Sehingga dengan menerapkan prinsip nasional ini pihak bank dapat mengetahui secara dini mengenai informasi calon nasabahnya baik identitas diri, usaha atau pekerjaannya, penghasilan maupun yang lain-lainnya. Sehingga nantinya disamping terjadinya suatu hubungan antara bank dan nasabahnya, tetapi juga dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi melalui perbankan yang bersifat illegal dari calon nasabahnya tersebut. Sehingga nantinya seluruh bank di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat dan mampu melindungi secara bijak dan baik dana yang dititipkan masyarakat serta kemudia menyalurkan kembali kepada masyarakat kebidang yang produktif demi kelancaran pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi nasional..



Thursday 22 June 2017

Asas Bantuan Hukum dan Acara Pemeriksaan Perkara dalam Peradilan Militer


Asas Bantuan Hukum dalam Peradilan Militer
Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 telah mengakuinya asas bantuan hukum, sebagaiamana tercantum dalam pasal Pasal 105 yang dimana “Dalam hal seorang Tersangka melakukan suatu tindak pidana, sebelum dimulainya pemeriksaan oleh Penyidik, Penyidik wajib memberitahukan kepada Tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat Hukum.”
Bahkan dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 terdapat bab khusus mengatur tentang bantuan hukum, yang dimana pada bagian kedelapan tentang bantuan hukum pada Pasal 215, dimana pada ayat (1) menyatakan “Untuk kepentingan pembelaan perkaranya, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di semua tingkat pemeriksaan.” Ayat (2)  menyatakan “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata.” Sedangkan ayat (3) menyatakan “Tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.”
Kekhususan lain dari Hukum Acara pada Peradilan Militer adalah tentang bantuan hukum, yaitu bahwa setiap pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa harus atas perintah atau seizing Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.

Acara Pemeriksaan Perkara dalam Peradilan Militer
Dalam peradilan militer acara pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya beberapa jenis, diantaranya:
a)      Acara pemeriksaan biasa, yaitu acara pemeriksaan yang umumnya sama dengan peradilan umum
b)      Acara pemeriksaan cepat, yaitu acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan jalan.
c)      Acara pemeriksaan khusus, yaitu acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi
d)     Acara pemeriksaan koneksitas, yaitu acara pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum.

Sedangkan mengenai acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan tindak pidana ringan (tipiring), tidak dianut oleh undang-undang nomor 31 tahun 1997, karena melanggar azas kepaperaan. Dalam acara pemeriksaan singkat, tidak perlu membuat surat dakwaan, penuntut umum langsung menyerahkan perkara ke pengadilan. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HAPMIL bahwa semua perkara baik kejahatan maupun pelanggaran harus diselesaikan melalui Papera terlebih dahulu, termasuk perkara pelanggaran lalu lintas.

Saturday 10 June 2017

Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang


Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara. Oleh sebab itu maka peran serta masyarakat merupakan suatu komponen penting yang tidak lagi dapat disangsikan, karena dengan sistem kehidupan bernegara yang demikian maka segalanya sesuatunya akan berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Peran masyarakat dalam segala aspek kehidupan bernegara merupakan sesuatu yang sangat fundamental karena dapat menentukan terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Pengaruh peran serta masyarakat dalam proses bernegara sangat bergantung pada cara pandang masing-masing individu tentang demokrasi. Pemahaman yang kuat oleh setiap warga Negara terhadap nilai-nilai demokrasi akan dapat memperkuat optimisme dan komitmennya terhadap peranannya didalam kehidupan bernegara.
Berdasarkan pendapat seorang ahli yaitu Hardjasoemantri terdapat 4 pokok pikiran yang melandasi perlunya peran serta masyarakat yang diantaranya:
1.      Memberi informasi kepada pemerintah, yang dimana peran masyarakat ini akan membantu pemerintah mengetahui secara langsung mengenai berbagai perkembangan aspek kehidupan masyarakat. Peranan ini dapat membantu pemerintah didalam menghadapi suatu isu yang ada dan bagaimana tindakan yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
2.      Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan, masyarakat yang telah dilibatkan dalam suatu perumusan keputusan oleh pemerintah, maka cenderung akan memiliki kesediaan untuk menerima dan mentaati keputusan yang dibuat bersama.
3.      Membantu perlindungan hukum, apabila dalam suatu keputusan pemerintah memperhatikan berbagai keberatan maupun saran dari masyarakat selama proses perumusan keputusan tersebut, maka masyarakat yang nantinya akan terkena dampak dari kebijakan tersebut takkan merasa keberatan setelah kebijakan tersebut di terapkan kedepannya. Maka tidak akan ada keperluan untuk mengajukan suatu perkara akibat dari kebijakan tersebut ke pengadilan.
4.      Mendemokratisasikan pengambilan keputusan, dalam sistem perwakilan ada yang bependapat bahwa hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sehingga tidak perlu lagi adanya bentuk dari peran serta masyarakat. Namun ada pandangan lain yang berpendapat bahwa sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung. Direktur Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II Bahal Edison Naiborhu pernah menyatakan bahwa sebenarnya ketika proses penyusunan Undang-Undang Penataan Ruang dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sudah melibatkan unsur masyarakat yang diwakili oleh DPR serta kelompok kemasyarakatan yang berasal dari sektor akademisi hingga praktisi.
Pada dasarnya peran serta masyarakat dipandang sebagai suatu usaha didalam membantu negara dalam melaksankan tugas dengan cara yang lebih mudah diterima langsung oleh masyarakat. Melihat daripada konteks peran serta masyarakat didalam tata ruang di Indonesia, dimana dalam penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah wajib untuk melibatkan peran serta masyarakat. Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, partisipasi dalam pemanfaatan ruang maupun partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Peran serta masyarakat dalam tata ruang dianggap penting untuk meminimalisir potensi timbulnya konflik kepentingan golongan tertentu didalam pemanfaatan ruang, karena pada dasarnya hasil dari penataan ruang pada akhirnya adalah unntuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam tata ruang telah diatur didalam Bab VIII tentang Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) serta terdapat pula didalam Bab VII tentang Pengawasan Penataan Ruang pada pasal 55 UUPR. Peran serta masyarakat ini merupakan satu kesatuan dengan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara didalam kontribusinya perihal penataan ruang. Pada dasarnya pengaturan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang salah satunya adalah untuk menjamin terlaksanakannya hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang. Bahkan dalam pada penjelasan umum UUPR menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang tersebut UUPR antara lain, memuat ketentuan pokok hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Melalui berbagai rumusan dalam ketentuan perundang-undangan ini, pemerintah sangat sadar betul bahwa instrumen penting dalam berbagai proses penataan ruang adalah masyarakat itu sendiri.
Bahkan pengaturan mengenai bentuk peran serta masyarakat diatur lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (PP 68/2010). Dalam PP PP 68/2010 ini terdapat definisi peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hukum tata ruang Indonesia mengatur bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat didalamnya.
Untuk menjamin terwujudnya tujuan dari penataan ruang yang telah direncanakan, maka diperlukan adanya peran serta masyarakat secara aktif dari tahanan perencanaa, penetapan, pemanfaatan hinggan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkatan baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Tujuan yang dimaksud disini telah tercantum dalam pasal 3 UUPR yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a.       terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b.      terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c.       terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Bentuk dasar dari peran serta masyarakat dimana setiap warga negara memilki hak untuk berkontribusi dalam penataan ruang dengan cara mengajukan usul, memberi saran, kritik maupun keberatan kepada pemerintah agar tetap dapat merealisasikan tujuan penyelenggaraan tata ruang seperti yang tercamtum pada pasal 3 UUPR diatas. Disamping memiliki hak, masyarakat juga memiliki beberapa kewajiban dasar dengan cara ikut berperan dalam memelihara ruang yang bersangkutan. Dengan berperan untuk turut memelihara ruang maka dengan sendirinya masyarakat akan taat terhadap rencana tata ruang yang ditetapkan dan memanfaatkannya sesuai dengan rencana tata ruang tersebut. Kedua peran ini adalah salah satu bentuk dari kewajiban warga negara yang secara sadar untuk berkewajiban mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Secara lebih rinci, mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagai wujud peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah tercantum didalam pasal 60 dan 61 UUPR, adapun hak masyarakat dalam penataan ruang diantaranya:
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a.       mengetahui rencana tata ruang;
b.      menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c.       memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d.      mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e.       mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f.       mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Sedangkan ketentuan mengenai kewajiban masyarakat diantaranya:
Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a.       menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b.      memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c.       mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.      memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (PPPMPR). Bentuk peran serta masyarakat ini dapat dibagai kedalam 4 tahapan kegiatan peran serta masyarakat, yang diantaranya:
Pertama yaitu dalam proses perencanaan tata ruang, adapun bentuk atau isi peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah nasional termasuk kawasan tertentu atau strategis. Menurut penjelasan Pasal 8 PPPMPR, RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) tersebut merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional berupa kriteria dan pola pengelolaan kawasan yang harus dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lain. Dijelaskan pula kahwa kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah serta keserasian antarsektor, dan dijadikan acuan bagi instansi pemerintah dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang daratan, lautan dan udara.
Kedua yaitu bentuk peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional tercantum dalam Pasal 9 PPPMPR dapat berbentuk: (a) bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan kebijaksanaan penataan ruang; dan (b) bantuan teknik dan pengelolaan pemanfaatan ruang. Dijelaskan bahwa bantuan teknik yang dimaksud yaitu technical assistance, dan yang dimaksud dengan bantuan pengelolaan yaitu  management assistance.
Ketiga yaitu bentuk peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang kawasan tertentu atau strategis nasional mencakup dalam pasal 10 PPPMPR yaitu : (a) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang (daratan, lautan atau udara) berdasarkan peraturan perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku; (b) penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan RTR (Rencana Tata Ruang) yang telah ditetapkan; (c) perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRWN; dan (d) kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan yang keempat adalah bentuk peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, termasuk kawasan tertentu/strategis dalam Pasal 11 PPPMPR, dapat berbentuk: (a) pengawan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan tertentu/strategis, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan/atau (b) bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang.
Bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang pada tingkat wilayah provinsi dan kabupaten/kota, pada dasarnya sama dengan bentuk dan cakupan pada penataan ruang wilayah nasional, yakni mencakup tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayaah dan kawasan, termasuk ruang kawasan tertentu dan strategis. Isi dan bentuknya juga relatif sama. Adapun yang berbeda terletak pada ruang lingkupnya secara administraif. Hanya saja untuk wilayah kabupaten/kota lebih diperinci sampai pada Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR/RDTR) dan ruang kawasan.

Kesediaan masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang diharapkan tidak dibatasi dengan suatu peraturan yang berlaku. Bahkan seharusnya peraturan yang ada tersebut harus dapat mendorong masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam penataan ruang Indonesia. Pemerintah pun sadar bahwa peran serta masyarakat adalah hal yang sangat penting karena seluruh hasil dari pemanfaatan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak hanya menguntungkan golongan tertentu. Pentingnya peran serta masyarakat dalam penataan ruang saat ini terkait dengan banyaknya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan. Para penguasa atau wakil rakyat kerap menyalahgunakan kekuasaanya untuk kepentingannya pribadi atau golongannya saja, dan sering kali kasus-kasus seperti ini berkaitan dengan pemanfaatan penataan ruang di Indonesia. Dengan dapat dijalankannya dengan baik dan berkesinambungan hak, kewajiban dan peran serta masyarakat maka diharapkan hal-hal seperti ini tidak terjadi karena adanya masyarakat yang turut mengawasi berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan ruang agar nantinya melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, partisipasi dalam pemanfaatan ruang maupun partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang tetap dapat menjamin kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan tidak melanggar ketetentuan yang berlaku. 

Sunday 14 May 2017

Sita Jaminan


A. Pengertian Sita Jaminan
Pengertian sita jaminan atau conservatoir beslag diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBG atau Pasal 720 Rv, yang secara yuridis merupakan upaya hukum yang diambil oleh pengadilan dengan menyita barang debitur sebagai tindakan yang mendahului pemeriksaan pokok perkara selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut. Dengan demikian sita jaminan dapat dilakukan:
1. Sebelum pengadilan memeriksa pokok perkara; atau
2. Pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan, sebelum Hakim Ketua (pengadilan) menjatuhkan putusan.

B. Fungsi Sita Jaminan
Tujuan utamanya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau mengalihkan harta bendanya kepada pihak lain. Inilah tujuan utama dari sita jaminan, menjaga keutuhan keberadaan harta terperkara atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya perintah penyitaan atas harta tergugat atau harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita.
Sita jaminan merupakan upaya hukum terjaminnya keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai putusan dapat dieksekusi, agar gugatan penggugat pada saat gugatannya dieksekusi tidaklah percuma, karena dengan diletakkan sita jaminan pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan dan pensitaan telah didaftarkan dan telah diumumkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan 198 HIR, yang berbunyi:
1. Apabila yang disita barang tetap, maka berita acara penyitaan diumumkan yaitu jika barang tetap itu sudah dibukukan menurut ordonansi tentang pemindahan barang tetap dan tentang membukukan hipotek atas barang itu di Indonesia (S. 1834 Nr. 27), dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang tersebut dalam pasal 50 dari aturan tentang menjalankan undang-undang baru dan pemindahan untuk itu (S. 1848 Nr. 10) atau dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang disediakan untuk maksud itu, di kantor kepaniteraan pengadilan negeri, dalam kedua hal ini dengan menyebutkan jam, hari, bulan dan tahun itu harus disebut oleh panitera pada surat asal yang diberikan kepadanya.
2. Tambahan pula orang yang dipertanggungkan menyita barang itu, memberi perintah kepada kepala desa supaya penyitaan itu diumumkan di tempat itu menurut cara yang biasa sehingga diketahui orang yang seluasluasnya. Maka terhitung sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, telah digariskan akibat hukumnya, seperti yang diatur dalam Pasal 199 HIR, yang berbunyi:
1. Terhitung mulai dari hari berita acara penyitaan barang itu diumumkan, maka pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau mempersewakan barang tetapnya yang disita itu.
2. Perjanjian yang diangkat berlawanan dengan larangan itu, tak boleh dipakai akan melawan orang yang menjalankan penyitaan. Dari Pasal 199 HIR itu maka dapat disimpulkan bahwa adanya larangan hukum bagi tergugat untuk menjual, menghibahkan atau memindahkan barang sitaan kepada siapapun.
C. Macam-Macam Sita yang Diatur HIR
Dalam hukum acara perdata, ada dua macam sita jaminan yang umumnya diajukan, (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.) yaitu:
·         Sita jaminan terhadap barang milik penggugat sendiri (Revindicatoir Beslag)
·         Sita jaminan terhadap barang milik debitur atau tergugat (Conservatoir Beslag)

1.      Sita revindicatoir (ps.226 HIR)
·         Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik secara lisan maupun tertulis, kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal,agar barang tersebut disita.
·         Barang yang disita secara revindicatoir adalah barang bergerak dan terperinci milik penggugat.
·         Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan.
·         Akibat hukum sita ini adalah penggugat tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya tergugat dilarang untuk mengalihkannya.
·         Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir itu dinyatakan dicabut.
Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
·           Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg)
Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya)
·           Sita marital (Pasal 823-823j Rv).
Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak dialihkan
Contoh:
Jika mobil milik A dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan agar B tidak mengalihkannya.
Obyek Permohonan:
Obyek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
2.      Sita Conservatoir (ps. 227 HIR)
·         Penyitaan (beslag) ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
·         Barang yang disita secara conservatoir adalah barang bergerak dan tidak bergerak milik tergugat.
·         Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penggugat (ps.227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). 
·         Untuk mengajukan sita jaminan ini harus ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. 
·         Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita conservatoir itu dinyatakan dicabut.
·         Setiap saat tergugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut, apabila dikabulkan maka tergugat harus menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Contoh:
Dengan menjual barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat kepada penggugat sesuai putusan hakim
Obyek permohonan:
Sementara itu, pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
·         barang bergerak milik debitur
·         barang tetap milik debitur, dan
·         barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Perlu dicatat juga bahwa Mahkamah Agung pernah membatalkan sita jaminan karena nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi pokok perkara.

3.      Sita Ekesekutoir (ps. 197 HIR)
·         Penyitaan yang dilakukan sesudah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan akan dieksekusi.
·         Penyitaan dilakukan oleh panitera Pengadilan Negeri, yang wajib, yang membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia hadir, dan penitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
·         Barang yang disita adalah barang bergerak dan tidak bergerak, kecuali barang atau hewan yang digunakan untuk mencari nafkah. Untuk barang tidak bergerak, dibuat Berita Acara, diumumkan dan dicatat oleh Kepala Desa, salinannya didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah.
D. Tata Cara Sita jaminan
Cara pengajuan sita jaminan dapat berupa:
1. Secara tertulis
·         Diajukan dalam gugatan;
·         Alasan pengajuan diuraikan dalam tuduhan atau posita; dan
·         Di dalam tuntutan dimohonkan pernyataan sah dan berharga.
2. Secara lisan
·         Dimohonkan langsung dalam sidang.
Praktiknya, permohonan sita jaminan dilakukan dalam surat gugat bersama-sama dengan pengajuan gugat pokok. Sedangkan dalam Pasal 226 dan 227 HIR memungkinkan untuk mengajukan permonan sita jaminan secara terpisah dari pokok perkara tetapi dalam praktiknya hampir tidak pernah terjadi
E. Contoh Surat Permohonan Sita Jaminan
KANTOR ADVOKAD DAN KONSULTAN HUKUM
TAUFIQ MUSA LAWYERS & CO. ID
Jl. Tidung 9 No. 109 E Makassar
==============================================================
Kepada Yth,                                                                               Makassar, 10 Juli 2012
Ketua Pengadilan Negeri Makassar
Di-,
Makassar
Perihal            :  Mohon dilakukan sita jaminan

Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Taufiq Musa, SH., MH, pekerjaan Advokat, Alamat Jl. Tidung 9 No. 109E Makassar. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 23/SK/XII/Pdt/FYNDPDCL/2012 tanggal 28 Januai 2012, bertindak untuk dan atas nama Astuti Majid, umur 41 tahun, pekerjaan wiraswasta, agama islam, tempat tinggal di Jl Toddopuli V No. 100Rt.01 Rw.02, Kecamatan Rappocini Makassar, selanjutnya disebutPemohon.
Sehubungan dengan gugatan pemohon di Pengadilan Negeri Makassar dalam perkara perdata 12/pdt-02/pn.mkssar/2012 tanggal 20 mei 2012 terhadap:
Ahmad binAbdullah, umur 47 tahun, pekerjaan tani, agama islam, tempat tinggal di Jl. Sudiang Permai No. 28 Rt. 01 Rw.03, Kecamatan Tamalate Makassar, selanjutnya disebut Temohon
Dengan ini perkenalkanlah pemohon mengajukan permohonan untuk diletakkannya sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta milik termohon dan/atau yang dikuasai termohon secara melanggar hukum berupa :
Sebidang tanah yang luasnya 2 Ha. Terletak di Kacamatan Rappocini, dengan batas sebagai berikut:
Sebelah utara            :  berbatas dengan tanah kebun milik Ali,
Sebelah selatan         :  berbatas dengan kebun milik Amat,
Sebelah timur            :  berbatas dengan sawah milik Subagya,
Sebelah Barat            :  berbatas dengan jalan raya. 
Permohonan ini diajukan guna melindungi hak dan kepentingan pemohon serta untuk menjamin terpenuhinya kewajiban termohon berdasarkan putusan dalam perkara tersebut diatas.
Demikian surat permohonan kami, Terima kasih.
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon


TAUFIQ MUSA, S.H., M.H.

Saturday 13 May 2017

Keefektifan Pemidanaan Narkotika di Indonesia


Keefektifan Pemidanaan Narkotika di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang akan menyebabkan perubahan kesadaran, mengurangi bahkan sampai menghilangkan rasa sakit dan dapat menimbulkan ketergantungan. Tidak dapat dipungkiri, zaman sekarang ini segala hal memungkinkan untuk berkembang pesat, baik hal positif maupun sebaliknya, tidak terkecuali bagi perkembangan transaksi narkotika. Perkembangan transaksi narkotika tidak hanya mencakup satu kawasan negara saja, namun telah berkembang menjadi transaksi di antar negara. Penyalahgunaan narkotika ini telah menjadi momok yang semakin lama semakin besar dari waktu ke waktu. Hal itulah yang mengakibatkan diperlukan ada suatu regulasi sebagai bentuk preventif dan rehabilitatif terhadap penyalahgunaan narkotika. Masalah tindak pidana narkotika adalah masalah  yang luar biasa atau ordinary crime, tetapi penanganan dan penegakkannya didalam aturan perundang-undangan masih rancu. Didalam masyarakat masih terjadi perdabatan pro-kontra terkait penyalahgunaan narkotika.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1   Apa yang dimaksud dengan narkotika?
1.2.2    Bagaimana pemidanaan bagi pecandu narkotika?
1.2.3   Bagaimana pemidanaan bagi pelaku pengedar narkotika?
1.2.4   Bagaimana keefektifan pemidanaan narkotika di Indonesia?





1.3 Tujuan Penulisan
            1.3.1    Mengetahui apa yang dimaksud narkotika
1.3.2    Mengetahui pemidanaan bagi pecandu narkotika
1.3.3    Mengetahui pemidanaan bagi pelaku pengedar narkotika
1.3.4    Mengetahui keefektifan pemidanaan narkotika di Indonesia


1.4 Manfaat Penulisan
            Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pentingnya pengetahuan serta antisipasi terhadap penyalahgunaan narkotika. Hal ini dikarenakan narkotika  merupakan masalah serius yang harus segera diatasi dewasa ini. Peran aktif masyarakat sangat diperlukan guna menciptakan Indonesia bebas dari narkotika. Disamping pemidanaan terhadap para pelanggar, usaha preventif tentunya akan lebih bermanfaat, guna menciptakan generasi muda yang berkualitas untuk memajukan bangsa Indonesia.



BAB II
ISI

2.1 Pengertian Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 1 angka 1, “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”
 Dalam hal perkembangan ilmu medis, narkotika sangat dibutuhkan. Di Indonesia sejak adanya Undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan”.
Dalam UU No 35 Tahun 2009, narkotika digolongkan kedalam tiga golongan:
1.      Narkotika Golongan I
Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggimengakibatkan ketergantungan.
2.      Narkotika Golongan II
Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.


3.      Narkotika Golongan III
Narkotika golongan tiga adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat dan berkhasiat untuk pengobatan dan penelitian. Golongan 3 narkotika ini banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

2.2            Pemidanaan Bagi Pecandu Narkotika
Pemidanaan dalam penanganan pecandu narkotika hanya direhabilitasi. Pengaturan tentang direhabilitasinya pecandu narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Bab IX Bagian Kedua tentang Rehabilitasi, yang dimana pengaturannya sebagai berikut:
·                     Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
·                     Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
·                     Pasal 56
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

·                     Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
·                     Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
·                     Pasal 59
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
2.3 Pemidanaan bagi pelaku pengedar narkotika
Pemidanaan terhadap pelaku pengedar narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XV tentang ketentuan pidana, yaitu sebagai berikut:
1.      Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman:
•           Pasal 111 (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,memelihara,memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
•           Pasal 111 (2) : Dalam hal perbuatan menanam,memelihara,menyimpan,menguasai,atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon , pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara  paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
2.      Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan  narkotika bukan tanaman:
•           Pasal 112 ayat(1): Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah
•           Pasal 117 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
•           Pasal 122 ayat (1): setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah
3.      Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman lebih dari 5 gram:
•           Pasal 112 ayat (2) : Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun, dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3
•           Pasal 117 ayat(2) :  Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan ,menguasai atau menyediakan narkotika golongan II yang beratnya melebihi 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
•           Pasal 122 ayat(2) :Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan III beratnya melebihi 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana dengan paling banyak Rp 3 miliar ditambah 1/3
4.      Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika:
•           Pasal 113 ayat(1) :Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor,atau menyalurkan narkotika golongan I  dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
•           Pasal 118 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah
•           Pasal 123 ayat(1):Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah
5.      Memproduksi,mengimpor,mengekspor,atau menyalurkan narkotika dalam bentuk tanaman lebih dari 1 kilogram/5 batang pohon atau bukan tanaman lebih dari 5 gram:
•           Pasal 113 ayat (2) : Dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon, atau dalam bentuk bukan tanaman berat lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun,dan denda maksimum 10 miliar ditambah 1/3
•           Pasal 118 ayat (2) : Dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram ,pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3
•           Pasal 123 ayat (2) : dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor,atau menyalurkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
6.      Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan:
•           Pasal 114 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan I ,pelaku dipidana penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
•           Pasal 119 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan II,pelaku dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
•           Pasal 124 ayat (1) :Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
7.      Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan:
•           Pasal 114 ayat (2) : dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon,atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,paling singkat 6 tahun,paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar ditambah 1/3
•           Pasal 119 ayat (2) : Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3
•           Pasal 124 ayat(2) :dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar ditambah 1/3
8.      Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito:
                     Pasal 115 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
                     Pasal 120 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun,paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah
                     Pasal 125 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun ,paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah.
9.      Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan i dalam bentuk tanaman lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram:
•           Pasal 115 ayat (2): dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut,atau menransito narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya lebih dari 1 kilogram atau lebih dari 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3
•           Pasal 120 ayat (2) : dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan II sebagaimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
•           Pasal 125 ayat (2): dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan III sebagimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun ,paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar rupiah ditambah 1/3
10.  Menggunakan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain:
•           Pasal 116 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 5 tahun ,paling lama 15 tahun, pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp.  10 miliar rupiah
•           Pasal 121 ayat(1) setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda Paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 Miliar rupiah.
11.  Menggunakan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain yang mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen:
•           Pasal 116 ayat (2) :Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen pelaku dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup ,paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3


2.4 Keefektifan Pemidanaan Narkotika di Indonesia
Permasalah narkotika telah menjadi masalah yang besar, baik di Indonesia maupun bagi bangsa lain. Menyikapi permasalah ini, pemerintah pada zaman Orde Baru mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Selain dengan mengeluarkan regulasi berupa undang-undang, pemerintah juga telah membentuk sebuah badan pemerintah yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN pun gencar melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari narkoba. Keseriusan pemerintah dalam memerangi permasalah narkotika ini harus pula didukung oleh segenap elemen masyarakat. Peran serta masyarkat ini dapat berupa upaya preventif berupa pencegahan agar tidak muncul pengguna/pecandu narkotika yang baru. Bahkan peran serta masyarakat ini diatur didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dimana masyarakat bisa berpartisipasi dalam Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba, tercantum pada pasal 104, 105 dan 109.
Jika kita melihat didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika ini, secara eksplisit bahwa undang-undang memiliki dua sisi, yaitu sisi humanis kepada para pecandu narkotika dan sisi yang tegas kepada bandar, sindikat, dan pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat dilihat sebagaimana termaktub pada Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan, Pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan sisi keras dan tegas dapat dilihat dari pasal-pasal yang tercantum di dalam Bab XV UU No. 35 Tahun 2009 (Ketentuan Pidana), yang mana pada intinya dalam bab itu dikatakan bahwa orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, hukumannya adalah pidana penjara bahkan dapat pula dihukum mati atau seumur hidup. Melihat dari ketentuan ini penulis mencoba melihat keefektifan hukuman yang diatur untuk pecandu dengan menjalani rahabilitasi saja serta bagi pengedar dapat berupa hukum mati.
Penanganan pecandu narkotika yang menurut undang-udang dianggap sebagai korban memang masih menjadi perdebatan di masyarakat. Sebagaian masyarakat beranggapan bahwa pencandu narkotika adalah korban dari pergaulan bebas dan dampak buruk perkembangan zaman. Menurut mereka menjadi pecandu bukan merupakan sebuah tindak pidana, tetapi seseorang sedang kesakitan yang membutuhkan pertolongan. Tetapi adapula sebagaian masyarakat beranggapan bahwa pencandu narkotika telah melakukan tindak pidana sehingga harus dipidana seperti halnya pengedar narkotika, yaitu dengan dihukum penjara agar menimbulkan efek jera.
Sedangkan jika melihat perdebatan dimasyarakat tentang para pengedar narkotika, dimana argumen kontra beranggapan bahwa pengedar narkotika tidak sepatutnya dihukum mati karena hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Apalagi hukum mati bertentangan dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Sedangkan argumen pro menyatakan bahwa hukuman mati memberi efek preventif terhadap penjahat potensial kejahatan narkotika. Bila menyadari akan dihukum mati, penjahat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan. Apalagi masalah narkotika tidak bisa dianggap masalah biasa. Masalah narkotika pada masa ini telah menjadi masalah yang luar biasa dan perlu mendapatkan penanganan khusus. Bahkan Undang-Undang Narkotika di Indonesia termasuk kedalam Undang-Undang Khusus.
Jika melihat dari perdebatan yang terjadi dimasyarkat, menurut penulis lebih tepat jika pecandu narkotika lebih baik hanya direhabilitasi. Memang banyak pecandu atau penyalahguna narkotika pada akhirnya divonis pidana penjara dan ditempatkan dalam Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), yang mana dalam Lapas tersebut para pecandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba. Hal ini dapat berakibat fatal, karena pada kenyataannya peredaran narkotika dalam Lapas sangat marak, bahkan para penyalahguna narkotika tersebut dapat lebih leluasa dalam memakai narkotika karena lebih mudah didapat. Vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu Narkotika di dalam Lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Bahkan yang terjadi, para pecandu tersebut  akan semakin kecanduan dan makin mudah memakai narkotika tersebut karena berbaur dengan para bandar, sindikat, dan pengedar narkotika, serta dengan melihat situasi di Lapas seperti saat ini belum tentu pula menimbukan efek jera. Apalagi mengingat jumlah narapidana didalam Lapas diseluruh Indonesia telah melebihi kapasitas, apabila pecandu diceploskan ke Lapas penanganan dan pengawasannya tidak akan efektif, bahkan untuk narapidana tindak pidana lainnya. Persoalan narkotika tak akan selesai jika pengguna tidak direhabilitasi. Dalam kasus narkotika pendekatan hukum secara represif justru tidak efektif. Tetapi menurut penulis jika seseorang yang telah keluar dari rehabilitasi dan kembali menjadi pecandu narkoba (residivis), lebih tepat jika pecandu tersebut dihadapkan pada hukuman penjara.
Sedangkan jika menelaah masalah hukuman mati bagi pengedar narkotika, penulis lebih setuju dengan adanya penerapan hukum mati. Meskipun hukuman mati dianggap merenggut hak asasi manusia pelaku, tetapi penulis beranggapan bahwa hak asasi manusia itu tidak bersifat absolute dan dibatasi. Terkadang pula sebuah hukuman memang didesain untuk merenggut hak asasi manusia dari pelaku, serta pengedaran narkotika ini telah merenggut hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup korban, bahkan keluarga korban dapat terkena dampaknya.  Kejahatan narkotika ini merupakan kejahatan luar biasa yang mencederai perikemanusiaan. Malasah narkotika ini telah menjadi masalah yang darurat, yang dapat merusak generasi muda bangsa Indonesia sebagai fondasi bangsa dimasa depan untuk menjadi bangsa yang lebih baik.



BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Perdebatan tentang pro kontra pasti akan selalu timbul didalam sebuah negara demokrasi, tetapi memang harus diakui pemidanaan bagi pecandu dan pelaku pengedar narkotika dirasa telah tepat untuk mengatasi tindak pidana narkotika yang kian berkembang. Akan tetapi masih diperlukan putusan-putusan yang tepat oleh badan yudikatif didalam menangani masalah tindak pidana narkotika. Permasalahan narkotika di Indonesia sudah menjadi masalah darurat. Permasalahan ini harus segera diatasi oleh segala komponen di negara ini. Keseriusan pemerintah dalam memerangi narkotika harus pula didukung oleh partisipasi aktif masyarakat.

3.2 SARAN
Dalam mengatasi permasalahan narkotika, pemerintah sebagai stakeholder harus gencar melakukan usaha preventif. Usaha preventif dapat berupa sosialisasi ke segala daerah di Indonesia, guna menginformasikan bahaya narkotika agar tidak terciptanya pecandu-pecandu baru. Disamping keseriusan pemerintah, masyarakat juga dibutuhkan peran aktifnya. Serta jika memang pemidanaan penjara bagi pecandu narkotika dikatakan perlu maka agar menimbulkan efek jera, pencadu narkotika tersebut harus memiliki sebuah Lapas khusus. Hal ini agar menciptakan keefektifan pemidanaan tersebut, karena pada kenyataannya sekarang para pecandu narkotika banyak di vonis penjara dan dimasukkan ke Lapas, yang mana dalam Lapas tersebut para pecandu narkotika ini disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba. Hal ini tentu berakibat buruk, karena melihat dari kenyataan di Lapas peredaran narkotika dalam Lapas sangat marak, bahkan para penyalahguna narkotika tersebut dapat lebih leluasa.


DAFTAR PUSTAKA

·         Marcos, M. (2014). Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika.
·         Prasetyo, T. (2014). Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.
·         Syamsuddin, A. (2014). Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.
·         Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
·         http://www.pn-nunukan.go.id/
·         http://setkab.go.id/