BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
didalam perkembangannya terbagi menjadi berbagai macam jenis keilmuan dengan
karakteristiknya masing-masing, ruas ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya dibagi
menjadi tiga, yaitu Ilmu-ilmu Alamiah,
Ilmu-ilmu Sosial, serta Humaniora sehingga dikenal berbagai
macam cabang ilmu dari ketiga ruas ilmu tersebut. Salah satu cabang ilmu yang
ada adalah ilmu hukum. Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki
karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah
yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang
juga berbeda.
Ilmu
hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu,
baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang
hukum sendiri. Sifat dari ilmu hukum
yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan
karakteristik sui generis. Sui generis
berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari jenisnya atau
genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut
jenis jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal
yang bersifat spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam
analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu realitas yang
tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai ilmu
sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi
ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
BAB II
ISI
2.1 Karakter
Normatif Ilmu Hukum
Ilmu
hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang
normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami
kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu
disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.
Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat
derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum
melalui kajian-kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai
kerancauan dalam usaha pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia
kehilangan kepribadiannya dan pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak
ditangani secara tepat dan professional. Usaha menghidupkan aspek empiris dari
ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian
sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu
sendiri. Kajian hukum diempiriska antara lain dengan merumuskan format-format
penelitian hukum yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian ilmu social yang
notabene adalah penelitian empiris. Sehingga ditemukan kejanggalan-kejanggalan
dengan memaksa format penelitian ilmu social dalam penelitian hukum normatif
diantaranya:
a.
perumusan
masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;
b.
sumber
data, teknik pengumpulan data, dan analisis data;
c.
populasi
dan sampling
Penelitian
hukum normatif seringkali juga diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif,
karena penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif
(statistic), dengan serta merta penelitian hukum normatif dinggap sebagap
penelitian kualitatif. Kesalahpahaman ini, mengakibatkan penelitian hukum
dianggap kurang ilmiah karena tidak kuantitatif atau tidak menggunakan
statistic. Penlitian hukum normatif semestinya tidaklah diidentifikasikan
dengan penelitian kualitatif.
Menetapkan
metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum),
seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan dari sudut pandang ilmu
social. Ada dua pendekatan yang dapatdilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum
dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu:
1.
Pendekatan dari Sudut Falsafah Ilmu
Falsafah ilmu
membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu :
a.
pandangan
positivistik yang melahirkan ilmu empiris; dan
b.
pandangan
normatif yang melahirkan ilmu normatif.
Dari sudut ini ilmu
hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki
segi-segiempiris. Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris
seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence. Dengan
demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif metode kajiannya khas,
sedangkan ilmu hukumempiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau
kualitatif tergantung sifat datanya.
2.
Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum
Dari sudut
pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu :
a.
dogmatik
hukum;
b.
teori
hukum (dalam arti sempit); dan
c.
filsafat
hukum.
Ketiga lapisan tersebut
pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing mempunyai
karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metodeyang khas. Persoalan
tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teorihukum (dalam arti
sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas,dapatlah
ditetapkan metode mana yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum.
Dari
uraian diatas dapat diambil sikap yaitu jangan mengempiriskan segi-segi normatif
ilmu huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam
penelitian hukum. Dalam kajian normatif sebaliknya berpegang pada tradisi
keilmua hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu hukum empiris sebaiknya
digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.
2.2 Terminologi Ilmu Hukum
Ilmu Hukum memiliki berbagai
istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa
Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris,
dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak
tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan
dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechwetenschap
oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap
berarti Science of Law. Istilah itu dihindari karena istilah science
dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris. Kenyataannya, hukum
adalah kajian yang lebih bersifat normatif.
Istilah
rechtswetenschap (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatika hukum atau
ajaran hukum yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum
posisitf dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatika
hukum tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai. Rechtswetenschap dalam
arti luas meliputi: dogmatika hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan
filsafat hukum.
Rechtstheorie
juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah
lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatika hukum dan filsafat hukum.
Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum.
Istilah
jurispudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris,
mempunyai makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. HPH Visser Thooft, dari sudut pandang
filsafat ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen [ilmu-ilmu hukum], dan
merumuskan sebagai disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan:
recht is made wetwnschap. Sementara Meuwissen,
menggunakan istilah rechtsbeoefening [pengembanan hukum] untuk menunjuk pada
semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam
masyarakat.
2.3 Jenis Ilmu Hukum
Dari
segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas:
a.
Ilmu hukum normatif
b.
Ilmu hukum empiris
Tahapan
studi ilmu hukum empiris sampai saat ini meliputi:
1.
Realis :
factual patterns of behavior
Fokus studinya adalah perilaku
2.
Sociological
jurisprudence : law in action & law in the books
Memfokuskan diri pada problema
kesenjangan, yaitu kesenjangan antara law in action & law in the books
3.
Socio –
legal studies
Aliran ini melihat hubungan timbal balik
antara hukum dan masyarakat, yang disatu sisi pengaruh hukum terhadap masyarakat
dan disisi lain pengaruh masyarakat terhadap hukum.
Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu
hukum normatif menurut D.H.M.Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum
empiris, antara lain:
a.
secara
tegas membedakan fakta dan norma;
b.
gejala
hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
c.
metode
yang digunakan adalah metode ilmu empiris, dan
d.
ilmu
yang bebas nilai.
Sedangkan J.J.H Bruggink menggambarkan perbedaan
antara ilmu hukum empiris dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut:
Keterangan
|
Pandangan positivistik:
Ilmu Hukum empirik
|
Pandangan normatif:
Ilmu hukum normatif
|
Hubungan
dasar
|
Subyek -
Obyek
|
Subyek –
Subyek
|
Sikap
ilmuwan
|
Penonton
(toeschouwer)
|
Partisipan
(doelnemer)
|
Perspektif
|
Ekstern
|
Intern
|
Teori
kebenaran
|
Korespondensi
|
Pragmatik
|
Proposisi
|
Hanya
informative atau empiris
|
Normatif
dan evaluasi
|
Metode
|
Hanya
metode yang bias diamati pancaindra
|
Juga
metode lain
|
Moral
|
Non
kognitif
|
Kognitif
|
Hubungan
antar moral dan hukum
|
Pemisahan
tegas
|
Tidak ada
pemisahan
|
Ilmu
|
Hanya
sosiologi hukum empiris dan teori hukum empiris
|
Ilmu
hukum dalam arti luas
|
Dari paparan tersebut, beberapa perbedaan
mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris, pertama-tama dari
hubungan dasar sikap ilmuwan, dan yang sangat penting adalah teori kebenaran.
Dalam ilmu hukum empiris sikap ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati
gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam ilmu hukum normatif,
yuris secara aktif menganalisa norma, sehingga peranan subjek sangat menonjol.
Dari segi kebenaran ilmiah, kebenaran hukum empiris adaalah kebenaran
korespondensi, artinya bahwa sesuatu itu benar karena didukung oleh fakta dalam
ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus
sejawat sekeahlian. Di Belanda, hal-hal yang merupakan konsensus sejawat
sekeahlian dikenal sebagai heersendeleer
(ajaran yang berpengaruh).
2.4 Lapisan
Ilmu Hukum
J. Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan
lapisan ilmu hukum sebagai berikut:

1.
Filsafat
Hukum
Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh
filsafat hukum dan disusul dogmatik hukum, filsafat hukum adalah filsafat umum
yang diterapkan pada hukum dan gejala hukumFilsafat hukum adalah filsafat
karena di dalam kajian tersebut, orang merenungkan semua persoalan fundamental
dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan
dengan ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak
lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang meliputi:
a.
ontologi hukum, yakni mempelajari hakekat
hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dan moral dan lainnya;
b.
aksiologi hukum, yakni mempelajari isi
dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan
wewenang dan lainnya;
c.
ideologi hukum,yakni mempelajari rincian
dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau
legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum
atau bagian dari sistem hukum;
d.
epistemologi hukum, yakni merupakan suatu
studi meta filsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh
mana pengetahuan mengenai hakekat hukum atau masalah filsafat hukum yang
fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;
e.
teleologi hukum, yakni menentukan isi dan
tujuan hukum;
f.
keilmuan hukum,yakni merupakan meta teori
bagi hukum; dan
g. logika
hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem
hukum dan struktur sistem hukum.
2.
Teori Hukum (dalam arti sempit)
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut
dengan jurisprudence atau legal theory. Teori Hukum lahir sebagai
kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad
ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang
terlalu abstrak, spekulatif dan dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini
mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori
dari hukum posisif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada pada
semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah umum tersebut meliputi: sifat,
hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat.
Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum
diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal
secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi
teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis
maupun manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang
tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan
ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori
hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika hukum merupakan
eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi
reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: pertama,
menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; kedua, dengan metode
sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan
lainnya. Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan
hal tersebut. Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori
hukum meliputi:
a.
analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum,
norma hukum, sistem hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum-figur hukum,
fungsi dan sumber hukum;
b.ajaran
metode hukum, meliputi metode kajian dogmatik terhadap hukum, metode
pembentukan hukum dan metode penerapan hukum;
c.
metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah
ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau disiplin
hermenetik.
d.
kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga
bidang kajian di atas, kritik ideologi merupakan hal baru dalam bidang kajian
teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi
orang terhadap manusia dan masyarakat
3.
Dogmatik Hukum
Dogmatik hukum (atau kajian dogmatis terhadap hukum)
merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan
pengertian dogmatika hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi
dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh M. van Hoecke. Ia mendefinisikan
dogmatika hukum sebagai cabang ilmu hukum yang memaparkan dan mensistematisasi
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu
tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut
terlihat, tujuan ahli dogmatika hukum bekerja tidak hanya secara teoritikal,
dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal.
Dengan kata lain, dogmatika hukum berkenaan dengan suatu masalah tertentu,
menawarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan
bahwa ahli dogmatika hukum bekerja dari sudut perspektif internal, yaitu
menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut berbicara dalam
diskusi yuridik terhadap hukum posistif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi ahli dogmatika hukum adalah teori
pragmatis. Proporsi yang ditemukan dalam dogmatika hukum bukan hanya informatif
atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif.
4.
Praktek Hukum (Penerapan dan Pembentukan
Hukum)
Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan
positivistik maupun sudut pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan
filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktek hukum. Praktek
hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan
hukum.
a. Penerapan Hukum
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang
sifatnya umum ke dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik
disebur De rechter is bounche de la loi, yang mengandung arti kiasan
hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa beratnya
tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang.
Berdasarkan beban tugas hakim itu, peran penemuan hukum merupakan tugaas yang
harus dilakukan dengan interpretasi besar dalam menentukan isi atau maksud
hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan
langkah penerapan hukum menjadi 3 bagian, yaitu:
·
Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di
antara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh
hakim;
·
Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah
dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk; dan
·
Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan
ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh hakim
b. Pembentukan Hukum
Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai:
interpretasi hukum, kekosongan hukum, antinomi dan norma yang kabur.
Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud
pembuat undang-undang, selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum.
Artinya hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum
tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu
berupa pembentukan hukum oleh hakim. Arti penting interpretasi merujuk pada
sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan perundang-undangan dapat pula
terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat perundang-undangan.
BAB III
PENUTUP
Ilmu
hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda
dari ilmu lainnya atau dengan kata lain memiliki karakter sui generis. Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu
diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun
ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Ilmu Hukum sendiri dikenal
dalam berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam
bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris,
dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak
tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan
dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut.
Melihat
dari segi obyeknya ilmu hukum dibedakann atas Ilmu hukum normatif serta Ilmu
hukum empiris. Tiap lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai
konsep eksplanasi dan sifat atau hakikat
keilmuannya. Namun demikian, Ilmu
hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter keilmuan ilmu
hukum, hendaknya mengempiriskan
segi-segi normatif ilmu huku dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi
empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian normatif sebaliknya berpegang pada
tradisi keilmuan hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu hukum empiris
sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.
Thanks infonya Bang.. Buat nambah bahan tugas :D
ReplyDelete